Janji… Takkan kuberitahu Niah

K calling…

“Halo K?”

“Iya, aku di depan kostmu, bisa keluar sebentar?”

Tidak sampai 2 menit, “Ada apa K malam-malam?”

“Temani aku makan”

“Ta… Tapi…”

K menarik tanganku naik ke motor 507-nya, “Sudahlah ayo, sebelum aku pinsan”

“Berbulan-bulan tidak bertemu, ada apa mendadak begini? Kemana saja? Ah, masih saja aku harus melingkarkan tanganku di tulang, kapan gemuknya?”, mencoba memecah kebekuan.

“Maaf hanya bisa mengajakmu makan di depan gang, keadaan kita sulit, aku tidak ingin…”

“Sudah K, aku mengerti, ini sudah cukup”, kupotong seenaknya, aku sudah tau kelanjutan kalimatnya.

Makan malam itu bahagia sekali seharusnya, tapi hambar, K banyak diam, aku mengoceh sendirian. Sebentar saja, seharusnya bisa lebih bermakna.

Makan malam pertama (sekaligus yang terakhir) setelah hampir setahun saling mengenal dan hmmm… “dekat” ya begitulah mungkin, entahlah…

“Pertengahan bulan depan resepsiku, tolong hadiri. Tanggal 9 akad nikahnya”

Tak tahu harus senang atau sedih. Harusnya bisa bahagia karena hari bahagianya sudah tiba setelah bertahun-tahun menjalin cinta dengan orang yang kami sebut Niah, tapi sedih karena… Ah, saya bukan siapa-siapa. Eh, kenapa ini perih di dalam dada, kok sesak nafas? Bingung mau bicara apa.

“Serius K? Yeeeey… Selamat K”, datar saja sekalipun raut wajah sudah tampak dibahagia-bahagiakan.

Hening…

“Berbahagialah seperti yang seharusnya K”, tipis saja, nyaris tak terdengar oleh K.

Malam itu lama sekali K menghabiskan waktu di depan kost ku, asap rokoknya melebur bersama udara yang ku hirup, sudah ku abaikan, bersamanya aku tak tau lagi mana hal yang kusuka mana yang tidak. Aku tak tau mana rasa sakit mana rasa bahagia.

***

Di lain waktu

K calling…

“Halo K…”

“Sudah tidur?”

“Belum, ada apa K”

“Hanya ingin seperti biasa, menemanimu sampai kau tertidur”

“Atau aku membangunkan dan menemanimu nonton bola” 

“Iya, sebelum nanti kita tidak bisa seperti ini lagi D”

Malam itu ku reguk sebanyak-banyaknya candanya, tawanya, diamnya, konyolnya, cerewetnya, kunikmati perihnya, kubayangkan rindunya malam-malam selanjutnya jika tanpanya. Malam itu terakhir aku mendengar suaranya On the Phone.

***

Suatu hari di pertengahan bulan Sembilan.

“Bagaimana? Kau hadir”

“Entahlah Ya… Aku sibuk, tidak dapat ditinggalkan tampaknya”

“Ya sudah, aku pergi dengan Kaka, nggak enak nggak hadir”

“Eh… Aku titip aja ya Ya?”, kemudian menyerahkan selembar seratus ribuan kepada orang yang ku sapa Ya.

“Apa isinya?”

“Apa aja Ya, yang penting tuliskan Semoga Hingga Ujung Waktu

Ya berangkat, aku larut dalam kesibukan. Kuraba hatiku, eh kok biasa aja, tidak sakit. Oh, tampaknya aku sudah sembuh, tepat di batas terakhir seperti yang seharusnya.


Selamat menempuh hidup baru teman, semoga hingga Ujung Waktu 

Janji… Takkan kuberitahu Niah, tentang selama ini… :)




0 komentar:

Posting Komentar