Tentang Teman Sedekat Bahu


 Enam bulan. Tidak, mungkin lebih lama atau sedikit lebih singkat dari itu waktu berporos mengiringi perkenalan kita. Berawal dari suatu hari awal tahun lalu, seorang sahabat menculikku untuk menghadiri kopdar sebuah komunitas pengguna Android Kalimantan Selatan dimana dia menjabat sebagai ketua yang baru. Kedai D’Moya di sekitaran jalan Kayu Tangi yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kosku, disana pertama kali aku melihatmu.

Malam itu kamu tampak sibuk dengan panggilan-panggilan yang masuk ke handphonemu, terkesan agak cuek, kau juga tidak mengenalkan diri, bahkan kaupun tidak menyaksikan perkenalanku seperti yang lain. Tapi dari sekian banyak laki-laki yang hadir, kamulah satu-satunya yang membuat perasaan ini berdesir.

Aku tidak begitu nyaman dengan keadaan malam itu, berkumpul dengan begitu banyak orang baru, aku terus mengekor sahabatku yang bertanggungjawab karena menculikku. Namun kehadiran perdanaku malam itu tidak menghalanginya menjadikanku sekretaris di komunitas itu. Aku bukan penganut paham ‘love at first sight’, namun kuakui kamulah salah satu alasan yang kupertimbangkan ketika mengiyakan tawaran itu, penasaran dan ingin mengetahui tentangmu lebih jauh.

Hari-hari berlalu kulewati seperti biasa, sebagai orang baru di komunitas itu aku memfollow akun twitter anak-anak komunitas, salah satunya akunmu dari situ aku tahu nama panggilanmu, tentang hobi bikersmu, tentang salah jurusanmu, tentang psikolog jadi-jadianmu. Akun yang terkadang romantis, tapi lebih sering sok motivator, sekarang sudah berubah jadi akun berita entah mungkin besok-besok akan berubah jadi akun apa. Aku juga menyimpan nomor handphonemu bersama nomor anak-anak komunitas yang lain dari sebuah grup Whatsapp komunitas, walau demikian aku tetap hanya menyaksikanmu di grup tanpa berani memulai apapun bahkan hanya untuk sekedar sebuah chat.

Kopdar selanjutnya, pertemuan kita yang kedua, suatu sore di Café Gelatto jalan Tarakan dekat kantor Banjarmasin Post. Seperti biasa aku datang dengan sahabatku, hari itu kau mengenakan baju hijau bersandar di tiang listrik depan café sedang asyik berbincang dengan beberapa orang sambil menunggu anggota komunitas yang belum datang, sedangkan aku hanya terdiam tertahan, tidak tau harus berbuat apa. Aku ingat senyum pertamamu kepadaku hari itu. Begitu pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, hanya bisa terdiam dan tertahan setiap melihatmu, tanpa berharap berdekatan atau kesempatan, yang ada malah aku ketakutan setiap melihat kecuekanmu.

Waktu terasa cepat berlalu, tapi kala harus menghabiskan waktu tanpamu entah mengapa terasa begitu lambat, rasanya seperti jalan di tempat. Hari ini tepat bulan ketiga terhitung sejak kali pertama aku mengirimkan sebuah pesan Whatsapp yang mengantarkan kita pada percakapan-percakapan panjang.

Siapa sangka sebuah keisengan berbuah kesempatan. Entah bagaimana dan siapa yang memulai sehingga membawa kita terlibat pada percakapan panjang penuh modus-modus bertebaran di twitter hari itu. Aku juga membolak-balik daftar kontak di Whatsapp, tanpa sengaja aku membaca statusmu yang mengatakan bahwa kamu sedang mengalami sebuah kecelakaan.

Selain agak terkejut dan sejujurnya sedikit khawatir, aku menjadikan itu salah satu alasan untuk mengumpulkan keberanian memulai sebuah percakapan. Seperti iseng-iseng berhadiah, kalau dibalas ya syukur, tidak pun tidak apa-apa, biasa saja.

Tapi ternyata aku salah, diluar dugaan kamu malah menceritakan panjang lebar kronologis kejadiannya bahkan tanpa menanyakan nomor yang tertera atau akun milik siapa, aku menyimpulkan kamu sudah tahu akun Whatsapp itu milikku.

Awal yang cukup baik. Menurut pengalaman menghadapi berbagai macam tipe pria,  menurutku ketertarikan lawan bicara terhadapmu dapat diukur dari respon pertama yang diberikannya pada awal-awal percakapan.

Sejak hari itu, 15 Maret 2013 pesan-pesan Whatsappmulah yang membuat potongan  ‘I remember’nya Mocca itu selalu kutunggu. Pagi, siang, sore, malam, percakapan-percakapan panjang dari bangun tidur, sampai tidur lagi. Tidak akan ada yang mengakhiri  sampai ada yang tertidur duluan atau sama-sama tertidur dan tidak bisa saling membalas lagi.

Membicarakan tentang banyak hal denganmu, dari hal terpenting sampai yang sangat tidak penting. Aku tidak pernah kehilangan respon positif seperti pertama kali kita chat, dari setiap bahan percakapan kita, kau selalu memperhatikan, menunjukkan wajah seolah-olah kau tertarik dan selalu merespon dengan baik, membuat lawan bicaramu ini merasa sangat dihargai.

Hari-hari dengan pesan Whastappmu, aku mulai terbiasa denganmu, semua tentangmu, nama lengkapmu, rumahmu, rumah kedua orangtuamu, tempatmu bekerja, hobimu, juga tentang lemon tea favoritmu, semuanya, aku mulai memahami dan mengetahuinya satu per satu.

Aku mulai terbiasa dengan sapaan ‘Udah bangun?’ di pagi hari, ‘Makan ingati’ di siang hari, ‘Udah pulang kerja?’ di sore hari dan percakapan seru lainnya di malam hari.

Ya, aku selalu ingin mengetahui semua tentangmu, aku menyukai semuanya, tanpa terkecuali satu pun. Begitu sederhana cara kita saling mengenal, namun bagiku ini luar biasa, adalah berkah tiada tara yang diberikan  Tuhan untukku.

***

Selama seminggu kita ‘akrab’ lewat Whatsapp, tanpa tatap muka. Aku mulai berani menyapamu di twitter, juga di grup Whatsapp, kita juga berhubungan di facebook, We Chat dan beberapa media sosial lainnya, tanpa merencanakan pertemuan dengan sengaja sekalipun.

Namun tampaknya semesta mengatur cerita sedemikian rupa sehingga pada suatu malam ketika lagi-lagi aku menggunakan rumus iseng-iseng berhadiah dengan menawarkanmu mampir ke kosku ketika kebetulan kamu sedang berkeliaran di sekitar jalan Kayu Tangi dan belanja di Mini Market Tulip dekat kosku dan kamu mengiyakan.

Aku gelagapan. Berusaha membalas pesanmu namun jaringan internet sedang sangat buruk. Beruntung karena handphoneku yang satunya berdering, telepon darimu. Malam itu pertama kali aku mendengar suaramu lewat telepon.

Kamu mengajakku makan karena memang hari itu kamu tahu aku sama sekali tidak menyentuh nasi sedikitpun. Sebentar saja berselang aku telah duduk di belakangmu, dengan kostumku yang seadanya karena tidak ingin membuatmu menunggu lama di depan gang sana. Aku merasa buruk dengan sweater dan baju abu-abu, jilbab hitam dengan sandal coklat yang sama sekali tidak maching. Motormu bergerak lambat, tidak seperti jantungku yang bergerak sangat cepat diluar kendali.

Entah ini boleh disebut dengan sebuah date dadakan atau tidak. Aku ingat bagaimana dan dimana tempat kita makan pertama kali, masih sekitaran Jalan Kayu Tangi tepatnya di Warung Garong.

Rasanya seperti mimpi, seperti berkah tiada tara yang datang begitu saja kepadaku. Kita bicara seperti orang yang sudah lama saling mengenal. Kamu makan banyak, aku makan dengan tenggorokan terasa tercekat, karenamu seseorang yang selama ini hanya bisa dekat lewat chat, sekarang berada begitu dekat beberapa jengkal di hadapanku.

Aku tidak berani banyak bicara karena kamu melihatku terlalu lekat, aku jadi gugup dan selalu berusaha mengalihkan pandangan. Malam itu kamu tampak begitu menakjubkan.

‘Entah kapan lagi akan mendapatkan kesempatan seperti ini?’ begitulah selalu tanya hati.

***

Hari itu Rabu, sangat melelahkan karena Praktik Kerja Lapangan yang mengharuskanku berangkat pagi-pagi dan memerlukan waktu beberapa jam untuk menuju lokasi medan melaksanakan kegiatan  di dua buah sekolah di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Namun ajakan makan bakso lewat pesan Whatsapp yang kuterima darimu ketika di perjalanan pulang melenyapkan segala lelah. Sepertinya sehati, sebab baru saja terbesit dalam pikiranku untuk mengajakmu keluar, tapi kau sudah menyampaikannya terlebih dahulu.

Pukul 7 malam aku sampai kos, segera mandi dan menyiapkan diri. Kau akan menjemputku pukul 8 karena masih ada pekerjaan. Aku sempat tertidur menunggumu, ketika terbangun dan aku belum menerima pesanmu rasanya begitu gelisah, berbagai kekhawatiran melanda. Tak sempat lama kau biarkan aku dalam keadaan itu, kau datang dan kita pergi makan sesuai dengan yang kita janjikan.

Ketika makan, kamu tidak pernah membiarkanku duduk disampingmu seperti yang biasa kulakukan, kamu memintaku duduk berhadapan denganmu, posisi yang akan membuatku lebih banyak melihatmu dan lebih banyak juga ketakutan, aku takut melihat matamu, aku tidak mampu mengendalikan detak jantungku.

‘Capekkah? Atau mengantuk? Kalau capek aku antar pulang, kalau nggak, aku mau ajak jalan dulu’ katamu.

Tentu saja aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Aku mengiyakan ajakanmu. Sebab, aku tidak pernah tau kapan lagi akan datang kesempatan semacam ini lagi kepadaku.

Setelah selesai makan kita lanjut duduk dan ngobrol banyak sekali di Siring seberang Mesjid Raya yang terletak di tengah-tengah pusat kota. Kita duduk bersebelahan melihat kelap kelip warna warni lampu di seberang sungai. Aku merapatkan sweaterku karena merasa dingin, entah keberanian dari mana yang membuatku kemudian dengan lancangnya menyandarkan kepalaku di bahumu, aku sudah siap dengan segala respon yang akan kau timbulkan, respon terburuk sekalipun. Lagi-lagi aku salah sangka, ternyata kau hanya diam  tak mengelak sedikitpun.

Aku bersyukur karena malam itu tidak ada pengamen maupun pengganggu lain yang akan mengacaukan. Malam itu rasanya begitu sempurna, aku tidak ingin mengakhirinya. Tanpa terasa 3 jam berlalu, waktu telah bergerak menuju angka 12, kau masih tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri percakapan kita, begitu juga aku, awalnya banyak orang berlalu lalang sampai hanya tersisa kita berdua dan segerombol orang entah dari komunitas apa, kemudian lampu-lampu siring mati dan hujan mengusir, memaksa kita untuk pulang.

Waktu begitu cepat berlalu, sepertinya aku ingin menghentikannya saja.

***

Hari-hari terus berlalu, hatiku mulai bertanya-tanya ‘Ada apa dengan kita?’. Getaran-getaran itu semakin membuat hati berani menunjukkan maksudnya.

‘Butuh waktu berapa lama untuk memastikan bahwa seseorang itu saling cocok?’ tanyaku di suatu percakapan kita di Whatsapp.

‘Selama-lamanya, sampai seperti kata NOAH aku mengerti, kamu mengerti aku, atau seperti kata D’masiv Aku percaya kamu tak peduli apa yang orang katakan tentang kamu’ jawabmu.

Aku begitu menikmati kedekatan kita, harapan-harapan yang semula tidak pernah ada perlahan mulai muncul satu per satu.

Di  pertemuan lain aku mendapat kesempatan mengulang bersandar di bahumu ketika kau mengajak ke XXI satu-satunya di Duta Mall yang juga mall satu-satunya di Banjarmasin. Seharusnya hari itu kita nonton film horror, tapi karena kita telat dapatnya malah Tampan Tailor.

‘Aku kalau nonton suka cengeng, nggak bisa terharu dikit bisa nangis, jangan diketawakan’ aku membisikimu.
‘Nggak apa-apa, aku tau kok, santai aja’ katamu sambil senyum-senyum.

Dibeberapa adegan menyedihkan sepanjang film aku menahan berat mata karena malu kalau kelihatan menangis, mataku berkaca-kaca, sesekali kau melirikku apakah aku menangis walau ternyata tidak, kau menggenggam tanganku sampai film selesai dan kita keluar bioskop, aku gelagapan sendiri, jantungku seperti mau loncat, lagi-lagi seperti mimpi.

Hari itu aku merasa seperti wanita paling beruntung dan bahagia di dunia.

***

         Pertemuan demi pertemuan terasa luar biasa. Aku ingat hari dimana kita tersesat di Landasan Ulin karena kesoktahuanku ketika kau mengantarku ke rumah keluargaku. Aku juga ingat kali kedua kita nonton dan kepergok anak-anak komunitas. Aku ingat ketika kita bertengkar kecil dan kembali baikan dengan syarat menerima ajakan makan sebagai alasan karena sebenarnya aku mengharapkan sebuah pertemuan. Kemudian ke Gramedia di jalan Veteran, tertawa-tawa melihat buku Generasi 90an, menyisir rak demi rak buku, dari tentang obat herbal sampai psikologi kematian kau membeli buku yang ku mau tanpa ku tau. Ketika kita menghabiskan malam dengan sebuah pertemuan di depan jembatan gang, sungai dan portal, aku ingat katamu hari itu ‘Anggap aja kita lagi di pinggir pantai’. 

Yang paling kusuka ketika kita bicara tentang perasaan dan kau tak hentinya menggenggam tanganku, ketika aku menjanjikan sebuah penantian walau pada kenyataannya tidak semudah itu aku bertahan. Ketika aku menanyakan apa kita teman dan kau jawab ‘iya kita teman, teman sedekat bahu’. Setidaknya aku tahu, perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, hanya saja kamu perlu waktu untuk memastikan.

Aku ingat semuanya, andai mungkin inginku runut semuanya sejak awal sampai sekarang tentangmu, tanpa kulewatkan satupun untuk kulupakan. Apapun dan bagaimanapun cara kita menghabiskan waktu selalu menjadi syukur tiada taraku atasmu.

Kamu hadir tanpa kurencanakan, di saat aku  nyaris mengabaikan segala bentuk kepercayaanku atas wujud cinta.  Awalnya aku begitu berhati-hati, aku tau seberapa lama aku memulihkan hati sejak kegegalan hubungan yang terakhir dan memilih hidup sendiri menarik diri dari percintaan. Namun kamu hadir berbahasa cinta, bercahaya penuh harapan. Pelan saja, lembut menyentuh pintu yang sudah lama berkarat dan berhasil menemukan kuncinya kemudian membukanya.

Kamu pernah tanyakan sebuah alasan terkait kenapa aku memilihmu untuk mempercayakan hatiku. Tidak satupun kata dapat kulontarkan sebagai alasannya. Jika karena kamu tampan, kamu mapan, kamu perhatian, kemudian jika semua itu hilang lantas aku harus berhenti bertahan? Lalu alasan mana yang harus kuutarakan untuk meyakinkan ketika kamu mengatakan bahwa kamu not a special one? Tahukah kamu bahwa cinta adalah alasan kemenerimaan itu sendiri. Dalam cinta tidak semua hal harus kau logikakan ketika hati menuntut banyak peran dalam arah perasaan.

Tapi jika kau memaksa aku harus mengutarakan alasannya, ya harus kuakui aku mengharapkan seseorang sepertimu sebagai tempat pelabuhan terakhirku. Kamu tampan meskipun di twitter kamu menyatakan kamu bukan orang tampan, kamu menyenangkan walaupun terkadang menyebalkan, kamu sangat dewasa, jalan berpikirmu panjang walaupun itu juga yang terkadang membuatmu pusing, kamu begitu peduli dengan keluarga, kamu perhatian bukan hanya terhadapku tapi kau juga selalu menyakan kabar keluargaku, aku nyaman berada di dekatmu, aku merasa mampu mempercayakan hari depanku kepadamu. Walaupun berkali-kali kau mengatakan alasan klise ala anak sekolahan bahwa kita tidak cocok, kamu menganggap dirimu tampak begitu buruk dan aku terlalu baik, itu tidak akan membuatku menyerah atasmu. Aku tidak pernah benar-benar memperjuangkan apa yang kuinginkan, tapi denganmu setidaknya aku tahu apa yang tidak ingin kulepaskan kali ini.

Walaupun beberapa waktu lalu aku pernah mengatakan aku telah memutuskan untuk menyerah saja, tapi kenyataannya tidak pernah bear-benar seperti itu. Memang aku lelah, aku juga marah, tapi itu bukan alasan ketika aku memutuskan untuk menyerah. Yang sebenarnya adalah aku tau rasanya dicintai dan diharapkan berlebihan sementara di sisi lain kau tidak bisa membalasnya, sangat tertekan. Aku pernah merasakan, aku mengerti, makanya aku tidak ingin lagi memaksamu untuk segera memastikannya.

Benar seperti katamu, kita sudah berada pada usia dimana tidak seharusnya lagi bermain-main, mencoba-coba, gagal dan kemudian menyakiti banyak orang, kita juga sudah tidak memiliki waktu untuk move on setelah gagal, biarkan waktu yang menjawabnya.

Aku sudah membebaskanmu, pergilah ke belahan dunia manapun yang kamu, temukanlah semua hal terbaik yang kamu mau, bahkan jika itu wanita terbaik, jika sampai pada waktunya kamu tidak berhasil menemukan dan kamu sudah lelah. Pulanglah, aku ada seperti biasa, mencintai sepertimu apa adanya dan masih di tempat yang sama, menunggu waktunya tiba.

***

Hari ini seperti biasa, masih dalam kesadaran bahwa aku terlibat dalam sebuah penantian. Ketika membuka mata di pagi hari dan membiarkan senyumanmu membayang di pelupuk mata dan membiarkannya kembali memberatkan mata untuk tertidur ketika malam tiba.

Disini, di sofa merah café tempat kita duduk malam itu, dengan segelas ice lomen tea favoritmu yang kubiarkan mencair, kenangan itu masih kunikmati walaupun terasa hambar karena kau tak termiliki.

Hey ‘teman sedekat bahu’, aku tidak pernah berubah terhadapmu, aku hanya butuh waktu untuk memantaskan diri untuk mengajukan diri sebagai pendampingmu. Menjadi wanita tercantik yang kau puji setelah Ibu dan saudara perempuanmu, menjadi wanita yang akan merapikan dan tidak akan membiarkan rambutmu berantakan setiap hari, menjadi wanita yang mencuci paling bersih, rapi dan wangi sehingga kau tidak perlu ke laundry lagi, menjadi wanita yang paling pandai memasak agar kau tidak pernah merasa bosan makan, menjadi wanita yang memiliki segudang solusi untuk setiap masalahmu agar kau tak perlu ragu lagi untuk membaginya kepadaku, menjadi seseorang yang selalu menjagamu bahkan takkan kubiarkan seekor nyamuk pun mengganggumu, menjadi seseorang yang selalu berjalan bersisian denganmu, mendampingimu menjalankan setiap adegan yang diskenariokan Tuhan dalam kehidupan.

Aku hanya merasa tidak bisa terus mengharapkanmu tanpa merasa pantas untuk memilikimu.

Tentangmu, dalam setiap sujudku aku selalu berdoa semoga Tuhan memasangkanku sebagai tulang rusukmu. Tapi jika bukan kau, aku tidak pernah berubah akan syukurku, karena Tuhan menunjukkan banyak hikmah dan aku banyak belajar dari kehadiranmu.

Maaf karena sudah banyak menyusahkan, maaf karena terkadang aku kekanakan, maaf dan terimakasih. Hadirmu adalah berkah tiada tara buatku, apa yang kudapatkan selama ini lebih dari apa yang pernah kuharapkan sebelumnya, walaupun semakin hari juga semakin ingin lebih lagi.

Saat berusaha menyelesaikan tulisan ini aku sedang menahan banyak inginku atasmu.  Aku tidak berharap kau tersentuh, karena ini bagimu mungkin hanya sebuah variasi, aku mengerti.



*Diposting ketika kupikir aku sudah menyerah, ternyata belum.

Ditulis ketika ke-GR-an dan sebelum berpikir untuk menyerah.
Tsar Cafe, 15 Juni 2013
11.02 PM


Harapan, Penantian dan Cinta yang Memaafkan


Ini keempat kalinya aku menjejakkan kaki di Old House sejak kepulanganku minggu lalu. Tempat ini sudah tidak asing lagi buatku. Pada zaman kuliah, hari-hari biasa dalam satu bulan satu atau dua kali aku biasa kesini untuk sekedar melepaskan beban dikepala dengan bernyanyi dan teriak-teriak tanpa harus dianggap gila.

Lama tidak kesini, tak banyak yang berubah. Namun malam ini tidak seperti biasa, Coffe Shop dilantai satu Old House tampak lebih ramai, wajar karena ini sabtu malam. Ya, Old House adalah salah satu Coffe Shop sekaligus tempat Karaoke Keluarga yang lumayan populer di kota kelahiranku, bukan hanya karena tempatnya yang tepat berada di pusat kota namun juga karena desain tempatnya yang klasik ala tempoe doeloe yang begitu menghidupkan nostalgia. Begitu sering aku ke tempat ini, namun baru sekali aku menjejakkan kaki di Coffe Shopnya, tapi tak berniat mengulanginya, harga tiap menunya bisa buat jatah makan anak kos 2 kali atau sekali karaokean patungan dengan teman-teman pada saat zaman masih kuliah.

Aku melewati jendela kaca Coffe Shop menuju Karaoke Keluarga di lantai 2, sendirian. Sabtu malam begini teman-teman mendadak sibuk semua. Bagi manusia normal yang punya pasangan tentu ini waktunya untuk bersama, bagi yang single tentunya memilih tepe-tepe di tempat tertentu berharap mendapatkan jodoh dari langit, ada juga yang ke pengajian, paling yang tersisa hanya teman-teman pria yang lebih memilih adem ayem ngumpul bareng main PES, sedangkan bagiku Sabtu malam itu hanya mitos! Heh, kepulangan kali ini rasanya hampa.

Coffe Shop begitu ramai, aku memilih tidak peduli namun ujung liar indra pendengaranku menangkap sesuatu, langkahku tertahan. Kudengar samar-samar sebuah nyanyian yang sangat sendu diiringi gitar akustik, aku membalikkan badanku.

“I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up”

Pandangan mataku nanar menembus sela jendela kaca berukir bunga-bunga liar dan tampak seorang pria dengan gitar accousticnya mengalunkan lagu I Wont Give Up-nya Bruno Mars dengan begitu pilu. Aku agak tertarik, tiba-tiba keinginan ke lantai 2 menguap begitu saja, aku malah masuk ke coffe shop lewat pintu samping dekat tangga pintu masuk karaoke. Pandanganku menyapu keseluruh bagian ruangan sesaat kemudian memutuskan mengambil tempat duduk yang masih kosong di sofa dekat akuarium.

“Silakan Mbak, mau pesan sekarang atau nanti?” Seorang pelayan menghampiriku.

“Sekarang aja” Aku mengambil menu. Dan kemudian memesan Hot Capucinno dan Roti Bakar Coklat Srikaya. Pelayan itu mengulang pesananku, aku hanya manggut-manggut saja.

Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa, aku menarik nafas berat. Hari-hari akhir terasa begitu berat, aku terlalu tertekan dan beban, sampai menyandarkan kepala di sofa ini terasa begitu lega.

Aku merogoh kantong jumper yang ku kenakan juga mencari-cari dalam tasku berharap dapat menemukan handphone, tapi percuma, aku lupa bahwa aku telah meninggalkannya di kost untuk menghindari Akbar dan juga urusan pekerjaan di Jakarta, aku sedang benar-benar ingin sendiri.

Mendadak aku teringat alasanku mengubah niat dan memilih masuk ke coffe shop ini. Aku mengalihkan pandanganku pada seorang pria yang masih dengan khusuknya menyanyikan I wont give up. Suara nyanyian dan alunan gitar akustiknya memenuhi seluruh ruangan  coffe shop ini, membuat Sabtu malam ini terasa lebih galau dari biasa, aku mengusap-usap dada kiriku, rasanya nyeri.

***
Sehari sebelumnya.

Ini hari yang sangat kubenci, semalaman aku tidak tidur karena deadline pekerjaan dari bos dan beberapa surat yang belum sempat kusentuh. Sekarang aku harus menghadapi 3 meeting dengan jeda 1 jam hanya untuk shalat dan makan. Aku sama sekali tidak menyentuh nasi sejak semalam, di saat-saat seperti ini nasi terasa dangat menjijikkan. Beberapa kali aku menguap dan melihat jam yang bergelayut di tangan kiriku, waktu terasa begitu lambat berlalu, tidak satupun yang disampaikan bos masuk kekepalaku hari ini, rasanya hanya ingin pulang, tidur dan tenang.

Handphoneku bergetar. Bergegas aku menjangkau tas yang kuletakkan di bawah tempat dudukku. Naya yang duduk disebelahku hanya geleng-geleng kepala.

Satu pesan dari Akbar.
“Ingga, aku menunggu cukup lama untuk mendengar kepastianmu, aku diburu waktu, usiaku sudah pada saatnya dan aku telah menemukanmu untuk pelabuhanku, bagaimana denganmu? Aku ingin bicara jika kau ada waktu jam makan siang ini”

Aku memasukkan handphone ke dalam kantongku dan meraih tas kemudian meninggalkan meeting tanpa permisi. Ibu Zara ternganga-nganga melihatku berlalu begitu saja. Naya rekan seruanganku di kantor hanya mengeluh tak mampu mencegahku.

Aku berlari keluar kantor dengan kepala sangat panas, aku sangat lelah, juga bawaan hati yang entah. Arrrghhh… rasanya ingin segera pulang dan tidur saja. Aku mempercepat langkah kakiku tanpa menoleh kiri kanan. Mukaku memerah.

Sesampainya di kontrakan aku menemukan sosok Akbar di depan pagar, aku melengus tanpa mempedulikannya, Akbar menarik tanganku. Langkahku terhenti tanpa mengubah posisi badan yang masih membelakanginya.

“Kak, lepas sekarang, aku capek, aku mau istirahat”

“Ingga, aku salah apa? Kenapa tiba-tiba kamu begini?”

Aku malas sekali mengeluarkan sepatah kata pun. Aku menghempaskan tangan Kak Akbar di pergelangan tanganku dan berlalu begitu saja.

“Ingga, ini sudah nyaris dua tahun kita saling mengenal, apa ada yang salah jika aku harus memastikannya? Kita sudah berada usianya Ngga” Kak Akbar meneriakiku.

Aku membalikkan badanku. “kamu tau apa yang salah kak? Aku yang salah, aku yang tidak bisa memastikan, aku yang tidak bisa memantaskan diri dan mencapai level 9 yang Ibumu inginkan!”

“Kita bisa bicarakan Ngga”

Aku tidak menggubris kak Akbar dan masuk ke dalam rumah mengambil tas dan tiket pesawat yang suda kusiapkan sejak semalam kemudian keluar lagi mencegat taksi.

“Kamu mau kemana Ngga?”
“Bandara”
“Untuk apa?”
“Pulkam”
“Pulang? Kenapa nggak bilang dulu Ngga? Aku antar ya”

Aku menutup pintu taksi, rasanya kepalaku berdenyut-denyut.

Di dalam pesawat aku mengeratkan blazerku, rasanya sangat dingin. Aku mebuang pandanganku keluar jendela, aku mencerna apa saja yang telah terjadi selama ini. Tentang bagaimana aku bisa sampai ke Jakarta. Tentang kak Akbar, pria dewasa, lembut dan mapan yang kurang lebih dua tahun lalu kukenal lewat sepupuku dan setengah tahun terakhir menawarkan pernikahan kepadaku kemudian ditengah rencana itu orangtuanya menstandarkan level 9 untuk calon menantunya. Huh, sepicik itukah mereka melakukan penilaian terhadap seseorang? Juga tentang janjiku 2 tahun lalu pada seseorang yang entah mengingatnya atau tidak.

“Mbak, maaf itu kursi saya” seseorang menyapaku

Aku menegecek tiketku “Oh, maaf” aku telah siap beranjak berdiri. Namun pria itu menahannya.

“Kalau mbak mau duduk disitu nggak apa-apa, kita tukeran aja”
Aku mengiyakan dan melanjutkan lamunanku

***

“Hoiii”

Seseorang mengagetkanku, pria yang tadi bernyanyi tiba-tiba berada di depan mataku. Aku bengong.

“Mbak ini hobinya melamun ya?  Masih ingat saya?” ujarnya ramah. Aku berusaha mengingat-ingat namun tidak berussaha mengingatnya mungkin karena pikiranku sedang begitu kacau.

“Kita tukeran tempat duduk kemarin di pesawat”
“Oh, iya, maaf saya lupa”
“Wajar, mbaknya kan melamun aja sepanjang perjalanan. Oya kemarin belum sempat kenalan” orang itu mengulurkan tangan “Ryan” ujarnya lagi.

“Ingga” kataku singkat.

Pesanananku datang, Ryan masih menemaniku, kami ngobrol banyak. Entah bagaimana caranya orang yang duduk bersebelahan di pesawat kemudian bertemu lagi dan ngobrol panjang lebar seperti sudah kenal lama dan kemudian saling bertukar kontak BBM.

“Kamu nyanyinya  bagus, aku suka, sampai-sampai tadi mau karaokean malah nggak jadi gara-gara dengar kamu nyanyi” ujarku.
“Kamu suka nyanyi juga?”
“Iya suka, apalagi kalau lagi stress, tapi aku nggak bisa nyanyi, sekedar suka aja”
Tiba-tiba Ryan berdiri dan kembali ke stagenya
“Iya malam ini saya kedatangan tamu special, seseorang yang bela-belain nggak jadi karaokean karena dengar saya nyanyi, sebagai gantinya kita bakalan minta dia karaokean disini nyanyi bareng saya, ya langsung saja kita panggilkan gadis cantik berbaju biru di ujung sana untuk ke depan”

Aku terkaget-kaget “dasar gila” umpatku dalam hati. Aku berusaha menolaknya namun pengunjung café yang lain begitu semangat memintaku maju ke depan. Aku pun mengalah.

“Kamu gila ya?” bisikku pada Ryan yang sudah stand bye dengan gitarnya.
“Aku dengar kamu nyanyi di pesawat, bagus… Mau lagu apa?” ujarnya
“Terserah, kalo aku jelek nyanyinya kamu tanggung jawab lho, di marahin bos kamu yang tanggung jawab ya?
“Tenang, bos disini baik kok”

Ryan memulai petikan gitarnya, Buat aku tersenyum, lagu yang kunyanyikan di pesawat.

“Datanglah sayang dan biarkan ku berbaring di pelukanmu walau untuk sejenak, usaplah dahiku dan kan kukatakan semua” aku memulai dengan agak bergetar dengan kemampuan menyanyi selevel bilik karaoke.

“Bilaku lelah tetaplah disini jangan tinggalkan aku sendiri, bilaku marah…”
Aku takjub mendengar suaranya, ah pria ini.

Selesai bernyanyi pengunjung bertepuk tangan dan meminta lagi. Namun aku menyudahi karena sudah larut malam dan aku segera ke kasir untuk membayar.

“Udah dibayar Mbak”
“Siapa?”
“Udah anggap aja saya yang traktir malam ini, jangan suka bengong lagi ya?”
“Apa-apaan sih, saya jadi nggak enak”
“Udah, datang lagi lain waktu ya?”

Aku mengiyakan, dan kemudian pamit pulang. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi malam itu. Rasanya hatiku begitu senang.

***

“Aku pulang”
Kataku di sebuah pesan pada sebuah kontak telepon yang beberapa bulan terakhir sama sekali tidak kujamah.

“Hah, kapan? Berapa lama?”
“Kemarin, nggak tau, sampai bosan. Sibuk? Bisa ketemu?”
“Ok, nanti malam”
 “Sip, kabarin”
“Ok”

Singkat, begitulah gayanya, belum berubah sejak pertama kali dekat 2,5 tahun lalu. Malam ini adalah pertama kali bertemu lagi sejak pertemuan terakhir 2 tahun lalu. Aku berdebar-debar menunggu. Inikah masanya?

Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang kabarnya. Lama sejak aku memutuskan untuk tidak mengikuti aktifitasnya di facebook, twitter atau dimanapun yang berhubungan dengannya. Haruskah aku mepertanyakan kembali janji itu malam ini? Apakah dia masih sendiri? Atau malah sudah memiliki calon istri? Ingatkah dia dengan janji kami malam itu? Seharian rasanya tak enak sama sekali.

Ajakan keluar dengan teman-teman lama kuabaikan, dengan alasan tidak enak badan. Berkali-kali Akbar menelponku juga kuabaikan.

Aku tidak mengerti dengan hatiku, Akbar sudah begitu baik selama ini, tidak sekalipun dia menyakitiku, bahkan dia sesuai dengan apa yang ku kriteriakan. Namun, entah kenapa janjiku 2 tahun lalu masih menjadi pertimbangan. Bagaimana mungkin aku masih mengharapkan seseorang yang tanpa kejelasan kabarnya dan berjarak dalam waktu yang lama. Bakti, pria itu, bagaimana bisa aku belum berubah terhadapnya?

Malam yang dijanjikan tiba, namun hujan turun dengan sangat derasnya. Ibu menyapaku yang cemberut di teras karena sudah bersiap-siap namun seseorang yang ditunggu malah membatalkan janjinya.

“Nggak jadi Mbak?” tanya ibu yang duduk disebelahku.
“Iya Bu, hujan gini, mana enak jalan, besok katanya”
“Sama Bakti?”
“Iya bu, ada apa?”
“Udah lama lewat, masih sama dia aja?”
“Bawaan hati bu, perasaan nggak mudah dipindah-pindah”
“Kenapa nggak ajak dia nikah aja?”
Aku terdiam.
“Itulah bu, kalau seandainya Ibu jadi Ingga, ada pria baik hati yang jelas-jelas cinta sama kita tapi kita masih ngarepin orang yang nggak jelas bisa sama-sama kita atau nggak walaupun udah lama nunggu, Ibu bakalan ngelakuin apa?”
“Ingga kan sudah dewasa. Cinta itu nggak bisa dilogikakan sayang.”
“Tapi bang Bakti gitu bu, logikanya kuat banget”
“Bakti itu pria dewasa Ngga, yang hidup dari nol sampai masa jayanya sekarang, dia tau betapa sulitnya hidup, itulah yang membuatnya tidak ingin terluka juga melukai”
“Akbar juga dewasa bu, dia kelihatan banget kalo sayang sama aku, tapi orangtuanya itu loh”
“Akbar biasa hidup enak kan sejak kecil? Dia nggak perlu banyak usaha untuk mendapatkan apa yang dia mau, makanya dia ngebet banget sama kamu”
“Jadi Ingga harus gimana bu?”
“Jawabannya ada dihati kamu” Ibu tersenyum, kemudian beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah.

Aku masih betah melihat rintikan air langit yang jatuh. Tidak jauh lebih kelu dari hati yang membeku karena tidak mampu mengubah haluan lagi.

***

Aku melihat sebuah emoticon yang dikirim Ryan lewat sebuah pesan jejaring social.

“Ada apa Ry”
Ryan mengajakku nonton siang nanti, tapi aku mengatakan aku ada janji.
“Sama siapa Ngga? Pacar yaa…”
“Ngawur, mana ada pacar? Lagian pria mana yang mau sama cewek kayak aku? Sibuk, mana sempat ngurusin pacar, haha”
“Hahaa, minder dia, nggak lah Ngga, kamu cantik lagi, dewasa banget lagi, aku mau kok sama kamu”
“Hush… hahaa semua cowok juga bilang gitu :p”

Aku mengakhiri pembicaraanku dengan Ryan saat Ibu memanggilku. Aku turun tangga dan melihat Bakti berbincang dengan ibuku, sudah lama sekali, tidak ada yang berubah, rambutnya masih berantakan seperti biasa. Aku bergetar.

“Sudah siap?” tanya Bakti. Aku mengangguk.
Lalu Bakti pamitan dengan Ibuku.
“Apa kabar?” katanya sambil tersenyum seolah-olah tidak ada ganjalan apapun di hatinya tentang kami. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum.

Bakti membukakan pintu mobilnya untukku. Dalam perjalanan aku banyak diam, berusaha menguasi hatiku, isi kepalaku yang begitu sesak seperti ingin meledak, begitu banyak pertanyaan yang ingin kuajukan tapi aku tidak tau harus dari mana memulainya.

“Sudah makan?”
“Belum, sejak semalam”

Bakti memebelokkan mobilnya ke Old House, tampak Ryan senyum-senyum dari kejauhan melihat aku dan Bakti masuk ke Coffe Shop. Tidak seperti biasanya, kali ini Ryan sama sekali tidak menghampiriku, tampaknya dia mengerti akan situasinya.

Aku berjalan disamping Bakti, dia menoleh ke arahku namun aku tidak mengalihkan pandangan ke arahnya.

Kami duduk berhadapan, masih seperti dulu juga aku yang menulis menunya.
“Mau pesan apa?”
“Seperti biasa, masih ingat?”

Lalu aku menuliskan lemon tea.
Dia asik memencet-mencet handphonenya, kebiasaan itu juga sama seperti dulu. Aku memandangi sepuas-puasnya. Melihat senyumnya, kureguk sepuas-puasnya kerinduan yang bergumpal-gumpal dalam dada.

“Rambut, masih seperti dulu, berantakan” kataku. Dia hanya tersenyum.
“Agak kurusan” kataku lagi.
“Iya nih” katanya sambil memasukkan hapenya ke kantong kemejanya, karena merasa aku membuka pembicaraan.

Dia menatapku tajam, lama dengan senyumnya. Aku tertuntuk.

“Ingga kerjanya gimana di Jakarta? Senang?”
“Yaa gitu lah, abang gimana?”
“Yaa gitu juga, udah mulai stabil, dikit lagi bakalan bisa santai”
Hening lagi.
“Bang…”
“Hmmm…”
“Udah punya belum?”
“Punya apa?”
“Hmmm… cewek, atau temen deket”
“Sempet, deket, tapi hilang gitu aja, nggak kayak kamu”
“Aku kenapa?”
“Kamu nerima aku banget”
“Bang. Boleh tanya? Masih ingat yang dulu?”
“Yang mana?”
“Ya udah kalo abang lupa”
“Beneran Ingga apaan? Kalo aku lupa diingetin donk”
“Ya sudahlah…” aku sedikit kecewa
“Ingga…”
Aku berharap ada pencerahan. Bakti menarik tanganku.
“Aku tau kamu bakalan nanya janji itu kan”
Aku mengangguk.
“Aku belum bisa Ingga”
Aku tersentak, “Abang ada yang lain?”
“Tidak Ngga, aku merasa belum siap, aku belum mau dikekang, aku mau melanjutkan karir yang sedikit lagi berada pada puncaknya”
“Tapi bang ini sudah 2 tahun, aku harus menunggu berapa lama lagi? Kamu lupa kalau aku wanita? Aku sudah sampai pada usiaku”
“Bang, kamu pikir dengan bersamaku kamu akan kehilangan kebebasanmu? Hobimu? Pekerjaanmu? Teman-temanmu? Tidak akan bang, aku kan sudah bilang selama ini. Apa aku ada potensi jadi pengekang yang baik bang? Apa selama ini aku pernah mengeluh soal teman-teman atau hobimu?” Aku mencecar Bakti yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.
“Aku sudah berusaha Ngga, tapi aku benar-benar belum siap. Kamu baik, kamu yang paling bisa menerima aku, aku suka kamu perhatikan, kamu penting buatku. Tapi aku nggak cocok buatmu Ngga, aku nggak sebaik yang kamu pikirkan, kamu terlalu baik buatku”
“Alasan klise anak sekolah! Kita sudah dewasa bang!”
“Ingga, tolong mengerti aku”
“Apa selama ini aku tidak mengerti kamu bang?”
“Ingga…”
“Aku pikir setelah selama ini aku pergi dan berusaha memantaskan diri untuk mendampingimu, aku sudah cukup buatmu, ternyata tidak bang, kamu tidak perlu aku. Aku pergi”

Aku melepaskan tangan Bakti dan meninggalkan Bakti sendirian yang bahkan tidak berusaha menahanku  untuk pergi.

***

Seminggu sudah aku berusaha bersikap sewaras mungkin, bertindak seolah aku baik-baik saja. Nyaris tiap hari aku menghabiskan waktu-waktu yang berlalu di Old House. Ryan mulai hafal kebiasaanku dari pukul 8 – 11 malam dan yang tidak pernah ketinggalan adalah segelas lemon tea.

“Kamu kenapa sih Ingga? Kelihatan lebih suram dari waktu di pesawat waktu itu, jelek tau kalo lagi gitu”
Aku berusaha membentuk sebuah garis lengkung di bibirku “Masa? Ini udah senyum”
“Ada apa sih Ngga? Cerita aja kalau kamu mau, nggak cerita juga nggak apa-apa”
Aku menghela nafas panjang dan menghempaskannya “Kamu ingat pria yang waktu itu datang denganku kan?”
“Iya, yang mirip cowok itu kan?” Ryan menunjuk seorang pria yang baru masuk Coffe Shop Old House yang postur tubuhnya memang mirip Bakti.
Aku mengangguk, “Aku baru gagal dengan dia”
Ryan tampak iba “Udah berapa lama prosesnya?”
“Dua tahun lebih, sejak zaman kuliah” Ryan ternganga. Lalu dia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi berusaha menghiburku, namun lagu sebahagia apapun akan tetap terasa menyedihkan ketika sedang patah hati.

***

Berhari-hari aku memikirkan, aku telah memutuskan untuk menyerah. Benar-benar menyerah. Tidak seperti yang kutakan 2 tahun lalau sebelum  hijrah ke Jakarta. Kali ini tidak ada lagi janjiku “Dua tahun lagi aku boleh kembali lagi dan minta seriusi kan?” seperti 2 tahun lalu. Aku final. Aku telah memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mulai memikirkan akan menerima pinangan Akbar. Akbar telah berhasil membujuk kedua orangtuanya untuk tidak membicarakn standar. Aku berada di ambang kebimbangan. Cinta itu memaafkan, sekalipun kamu tersakiti olehnya, namun kamu masih bisa memaafkan tanpa dia minta.

Hari terakhir di kota kelahiranku, aku mengunjungi semua tempat yang pernah kusinggahi dengan Bakti, tanpa kulewatkan satu pun. Bioskop tempat kami nonton, tempat pertama kali aku menyandarkan kepala dibahunya, makan di semua café dan tempat makan yang pernah kami singgahi berdua dan ditutup di tempat terakhir kami bertemu, Coffe shop Old House. Aku memesan es krim coklat beberapa porsi dan beberapa gelas lemon tea, ku habiskan semuanya, Ryan tampak khawatir kepadaku. Kepalaku rasanya pusing, perutku sudah menolak untuk dimasuki makanan lagi, rasanya mual. Aku berlari terburu-buru ke kamar mandi, aku muntah tanpa sempat menutup pintu toilet.

“Kamu kenapa sih Ingga, sepanjang aku mengenalmu aku tidak pernah melihatmu benar-benar tertawa” tanpa kusadari Ryan sudah berdiri dibelakangku dan mengurut punggungku. Aku sudah tanpa daya mengelaknya. Kapalaku rasanya pusing, aku mencoba berdiri namun aku nyaris terjatuh seandainya Ryan tidak menangkapku. Aku tidak dapat menahan air mataku, aku menangis dan itu… dalam pelukan Ryan.

***

Keadaanku cukup baik setelah beristirahat selama 3 hari, setelah Ryan mengantarku ke dokter dan kemudian pulang malam itu. Pagi ini aku sudah memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan ibu aku berangkat ke bandara dengan diantar Ryan. Sebelum masuk ke ruang tunggu aku menyerahkan sebuah USB kepada Ryan.

“Buat kamu Ry”
“Apaan nih Ngga?”
“Kalau-kalau aku nggak balik kesini lagi. Kenang-kenangn buat kamu, isinya puisi-puisi yang kutulis selama dua tahun ini”

Dibandara berkali-kali aku menoleh ke arah pintu masuk, masih berharap akan ada yang mengejarku dan menahanku untuk pergi. Namun sia-sia, tidak ada seorang pun yang menahanku. Tidak ada adegan kejar-kejaran dan peluk-pelukan di Bandara seperti di drama-drama Korea. Aku melambaikan tangan pada Ryan saat akan masuk ke ruang tunggu.

Perjalanan  satu jam empat puluh menit yang terasa sangat meneyedihkan. Akhirnya aku menginjak Jakarta lagi. Aku langsung mengabari Ibu dan Ryan sesaat setalah sampai dan kemudian tertidur karena kelelehan.

Keesokan paginya saat akan berangkat ke kantor untuk pertama kali setelah sekian lama. Beruntung karena aku tidak dipecat.

Aku begitu terkejut melihat sesosok yang sangat kukenal tengah tertidur setengah menyandar di salah satu tiang teras rumah kontrakanku.

“Bbbaaakti…” pekikku.
“Bagaimana bisa orang ini sampai disini?” Aku mengusap wajahnya, air mataku meleleh. Orang yang kusentuh wajahnya terbangun dan segera membenarkan posisi duduknya.
“Inggaa…” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Abaang… Kenapa nggak bilang kalau mau datang? Kenapa nggak bangunin Ingga aja? Abang ini kenapa sih? Bukannya abang tau aku tidak pernah membiarkan seekor nyamuk pun gigit abang, abang malah tidur di luar” ujarku terbata-bata masih sambil terus bercucuran air mata. Bakti memegang tanganku yang mengusap wajahnya.
“Ingga… Maaf, aku minta maaf” matanya berkaca-kaca.
“Udah bang, abang nggak ada salah, Ingga sudah maafin abang”
“Aku salah… Aku…” aku tidak membiarkan Bakti menyelesaikan kalimatnya, aku memeluknya erat, sangat erat.
“Terimakasih sayang, Miss you…” bisiknya ditelingaku. Pertama kalinya Bakti memanggilku sayang.
“Apa bang? Aku boleh dengar lagi?”
“Sayang, miss you…”
“Miss you too… Miss you so bad…”
Aku segera melepaskan pelukanku karena rasa penasaranku.
“Apa yang membawa abang sampai kesini?”
“Aku sudah memikirkannya Ingga, semuanya… Aku hanya terlalu lama hidup sendiri, aku tidak terbiasa dengan kehadiran wanita, tapi kalau harus tanpamu aku tidak yakin bisa Ingga… Aku sadar aku pengecut, aku egois karena tidak mau membiarkan diriku terluka dan aku sudah berburuk sangka padamu. Tapi setelah selama ini aku tau, benar katamu kamu takkan membatasi duniaku, karena kamulah yang kan jadi duniaku. Kamu orang yang tepat untukku mempercayakan hati yang lama kurawat dan kujaga sendiri. Juga karena ini Ngga… terimakasih…” Bakti menunjukkan sebuah USB yang dikeluarkannya dari kantongnya.
“USB ini sampai ke kamu?”
“Iya Ingga, saat kamu berangkat ke bandara aku datang ke rumahmu ingin menyampaikan maaf, tapi ibu bilang kamu baru aja berangkat ke bandara. Tapi aku terlambat kamu sudah pergi, tiba-tiba di parkiran seorang pria menyerahkan USB ini kepadaku, dia bilang isinya semua tentangku. Kamu mau kumpulan puisi ini jadi souvenir pernikahan kita kan? Lalu kenapa kamu berikan ke orang lain Nggaa?”
“Aku pikir aku tidak ada harapan lagi, untuk itu…”
Bakti memelukku lagi, kali ini lebih erat. “Ingga, kalau kau lelah kenapa harus pergi lagi? Pulanglah, disana ada aku, masa depan kita”

Hening, aku hanya mengangguk-angguk dalam pelukannya.

***

Aku masih meringkuk dalam selimut hangat ketika hujan turun dan waktu menunjukkan pukul 4.30 pagi. Namun aku mengurungkan niatku untuk melanjutkan tidurku karena sesosok yang tertidur lelap di sampingku. Aku mengecup keningnya dan membangunkannya. Ya, dia Bakti, akhirnya dia menjadi seseorang yang pertama kali kulihat setiap aku bangun tidur.

Cinta itu memaafkan, cinta itu juga keajaiban, saat nyaris tiada harapan, dia menunjukkan kejutan yang luar biasa. Semua ini adalah yang terindah untukku, aku memang pernah luka karenanya, namun pada akhirnya dia jugalah yang menyembuhkannya.


Inilah akhir dari sebuah penantian. Tidak selamanya membahagiakan memang, kadang terasa sangat menyedihkan, juga banyak yang berakhir menyenangkan, semua tergantung bagaimana kita menyikapinya, apapun endingnya tetaplah percaya Tuhan selalu ada dan menyediakan bahagia di akhir cerita, bukan hanya untukku, tapi kita semua.


*Kayu Tangi, 7 Mei 2013
11.18 PM