Tentang Teman Sedekat Bahu


 Enam bulan. Tidak, mungkin lebih lama atau sedikit lebih singkat dari itu waktu berporos mengiringi perkenalan kita. Berawal dari suatu hari awal tahun lalu, seorang sahabat menculikku untuk menghadiri kopdar sebuah komunitas pengguna Android Kalimantan Selatan dimana dia menjabat sebagai ketua yang baru. Kedai D’Moya di sekitaran jalan Kayu Tangi yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kosku, disana pertama kali aku melihatmu.

Malam itu kamu tampak sibuk dengan panggilan-panggilan yang masuk ke handphonemu, terkesan agak cuek, kau juga tidak mengenalkan diri, bahkan kaupun tidak menyaksikan perkenalanku seperti yang lain. Tapi dari sekian banyak laki-laki yang hadir, kamulah satu-satunya yang membuat perasaan ini berdesir.

Aku tidak begitu nyaman dengan keadaan malam itu, berkumpul dengan begitu banyak orang baru, aku terus mengekor sahabatku yang bertanggungjawab karena menculikku. Namun kehadiran perdanaku malam itu tidak menghalanginya menjadikanku sekretaris di komunitas itu. Aku bukan penganut paham ‘love at first sight’, namun kuakui kamulah salah satu alasan yang kupertimbangkan ketika mengiyakan tawaran itu, penasaran dan ingin mengetahui tentangmu lebih jauh.

Hari-hari berlalu kulewati seperti biasa, sebagai orang baru di komunitas itu aku memfollow akun twitter anak-anak komunitas, salah satunya akunmu dari situ aku tahu nama panggilanmu, tentang hobi bikersmu, tentang salah jurusanmu, tentang psikolog jadi-jadianmu. Akun yang terkadang romantis, tapi lebih sering sok motivator, sekarang sudah berubah jadi akun berita entah mungkin besok-besok akan berubah jadi akun apa. Aku juga menyimpan nomor handphonemu bersama nomor anak-anak komunitas yang lain dari sebuah grup Whatsapp komunitas, walau demikian aku tetap hanya menyaksikanmu di grup tanpa berani memulai apapun bahkan hanya untuk sekedar sebuah chat.

Kopdar selanjutnya, pertemuan kita yang kedua, suatu sore di Café Gelatto jalan Tarakan dekat kantor Banjarmasin Post. Seperti biasa aku datang dengan sahabatku, hari itu kau mengenakan baju hijau bersandar di tiang listrik depan café sedang asyik berbincang dengan beberapa orang sambil menunggu anggota komunitas yang belum datang, sedangkan aku hanya terdiam tertahan, tidak tau harus berbuat apa. Aku ingat senyum pertamamu kepadaku hari itu. Begitu pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, hanya bisa terdiam dan tertahan setiap melihatmu, tanpa berharap berdekatan atau kesempatan, yang ada malah aku ketakutan setiap melihat kecuekanmu.

Waktu terasa cepat berlalu, tapi kala harus menghabiskan waktu tanpamu entah mengapa terasa begitu lambat, rasanya seperti jalan di tempat. Hari ini tepat bulan ketiga terhitung sejak kali pertama aku mengirimkan sebuah pesan Whatsapp yang mengantarkan kita pada percakapan-percakapan panjang.

Siapa sangka sebuah keisengan berbuah kesempatan. Entah bagaimana dan siapa yang memulai sehingga membawa kita terlibat pada percakapan panjang penuh modus-modus bertebaran di twitter hari itu. Aku juga membolak-balik daftar kontak di Whatsapp, tanpa sengaja aku membaca statusmu yang mengatakan bahwa kamu sedang mengalami sebuah kecelakaan.

Selain agak terkejut dan sejujurnya sedikit khawatir, aku menjadikan itu salah satu alasan untuk mengumpulkan keberanian memulai sebuah percakapan. Seperti iseng-iseng berhadiah, kalau dibalas ya syukur, tidak pun tidak apa-apa, biasa saja.

Tapi ternyata aku salah, diluar dugaan kamu malah menceritakan panjang lebar kronologis kejadiannya bahkan tanpa menanyakan nomor yang tertera atau akun milik siapa, aku menyimpulkan kamu sudah tahu akun Whatsapp itu milikku.

Awal yang cukup baik. Menurut pengalaman menghadapi berbagai macam tipe pria,  menurutku ketertarikan lawan bicara terhadapmu dapat diukur dari respon pertama yang diberikannya pada awal-awal percakapan.

Sejak hari itu, 15 Maret 2013 pesan-pesan Whatsappmulah yang membuat potongan  ‘I remember’nya Mocca itu selalu kutunggu. Pagi, siang, sore, malam, percakapan-percakapan panjang dari bangun tidur, sampai tidur lagi. Tidak akan ada yang mengakhiri  sampai ada yang tertidur duluan atau sama-sama tertidur dan tidak bisa saling membalas lagi.

Membicarakan tentang banyak hal denganmu, dari hal terpenting sampai yang sangat tidak penting. Aku tidak pernah kehilangan respon positif seperti pertama kali kita chat, dari setiap bahan percakapan kita, kau selalu memperhatikan, menunjukkan wajah seolah-olah kau tertarik dan selalu merespon dengan baik, membuat lawan bicaramu ini merasa sangat dihargai.

Hari-hari dengan pesan Whastappmu, aku mulai terbiasa denganmu, semua tentangmu, nama lengkapmu, rumahmu, rumah kedua orangtuamu, tempatmu bekerja, hobimu, juga tentang lemon tea favoritmu, semuanya, aku mulai memahami dan mengetahuinya satu per satu.

Aku mulai terbiasa dengan sapaan ‘Udah bangun?’ di pagi hari, ‘Makan ingati’ di siang hari, ‘Udah pulang kerja?’ di sore hari dan percakapan seru lainnya di malam hari.

Ya, aku selalu ingin mengetahui semua tentangmu, aku menyukai semuanya, tanpa terkecuali satu pun. Begitu sederhana cara kita saling mengenal, namun bagiku ini luar biasa, adalah berkah tiada tara yang diberikan  Tuhan untukku.

***

Selama seminggu kita ‘akrab’ lewat Whatsapp, tanpa tatap muka. Aku mulai berani menyapamu di twitter, juga di grup Whatsapp, kita juga berhubungan di facebook, We Chat dan beberapa media sosial lainnya, tanpa merencanakan pertemuan dengan sengaja sekalipun.

Namun tampaknya semesta mengatur cerita sedemikian rupa sehingga pada suatu malam ketika lagi-lagi aku menggunakan rumus iseng-iseng berhadiah dengan menawarkanmu mampir ke kosku ketika kebetulan kamu sedang berkeliaran di sekitar jalan Kayu Tangi dan belanja di Mini Market Tulip dekat kosku dan kamu mengiyakan.

Aku gelagapan. Berusaha membalas pesanmu namun jaringan internet sedang sangat buruk. Beruntung karena handphoneku yang satunya berdering, telepon darimu. Malam itu pertama kali aku mendengar suaramu lewat telepon.

Kamu mengajakku makan karena memang hari itu kamu tahu aku sama sekali tidak menyentuh nasi sedikitpun. Sebentar saja berselang aku telah duduk di belakangmu, dengan kostumku yang seadanya karena tidak ingin membuatmu menunggu lama di depan gang sana. Aku merasa buruk dengan sweater dan baju abu-abu, jilbab hitam dengan sandal coklat yang sama sekali tidak maching. Motormu bergerak lambat, tidak seperti jantungku yang bergerak sangat cepat diluar kendali.

Entah ini boleh disebut dengan sebuah date dadakan atau tidak. Aku ingat bagaimana dan dimana tempat kita makan pertama kali, masih sekitaran Jalan Kayu Tangi tepatnya di Warung Garong.

Rasanya seperti mimpi, seperti berkah tiada tara yang datang begitu saja kepadaku. Kita bicara seperti orang yang sudah lama saling mengenal. Kamu makan banyak, aku makan dengan tenggorokan terasa tercekat, karenamu seseorang yang selama ini hanya bisa dekat lewat chat, sekarang berada begitu dekat beberapa jengkal di hadapanku.

Aku tidak berani banyak bicara karena kamu melihatku terlalu lekat, aku jadi gugup dan selalu berusaha mengalihkan pandangan. Malam itu kamu tampak begitu menakjubkan.

‘Entah kapan lagi akan mendapatkan kesempatan seperti ini?’ begitulah selalu tanya hati.

***

Hari itu Rabu, sangat melelahkan karena Praktik Kerja Lapangan yang mengharuskanku berangkat pagi-pagi dan memerlukan waktu beberapa jam untuk menuju lokasi medan melaksanakan kegiatan  di dua buah sekolah di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Namun ajakan makan bakso lewat pesan Whatsapp yang kuterima darimu ketika di perjalanan pulang melenyapkan segala lelah. Sepertinya sehati, sebab baru saja terbesit dalam pikiranku untuk mengajakmu keluar, tapi kau sudah menyampaikannya terlebih dahulu.

Pukul 7 malam aku sampai kos, segera mandi dan menyiapkan diri. Kau akan menjemputku pukul 8 karena masih ada pekerjaan. Aku sempat tertidur menunggumu, ketika terbangun dan aku belum menerima pesanmu rasanya begitu gelisah, berbagai kekhawatiran melanda. Tak sempat lama kau biarkan aku dalam keadaan itu, kau datang dan kita pergi makan sesuai dengan yang kita janjikan.

Ketika makan, kamu tidak pernah membiarkanku duduk disampingmu seperti yang biasa kulakukan, kamu memintaku duduk berhadapan denganmu, posisi yang akan membuatku lebih banyak melihatmu dan lebih banyak juga ketakutan, aku takut melihat matamu, aku tidak mampu mengendalikan detak jantungku.

‘Capekkah? Atau mengantuk? Kalau capek aku antar pulang, kalau nggak, aku mau ajak jalan dulu’ katamu.

Tentu saja aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Aku mengiyakan ajakanmu. Sebab, aku tidak pernah tau kapan lagi akan datang kesempatan semacam ini lagi kepadaku.

Setelah selesai makan kita lanjut duduk dan ngobrol banyak sekali di Siring seberang Mesjid Raya yang terletak di tengah-tengah pusat kota. Kita duduk bersebelahan melihat kelap kelip warna warni lampu di seberang sungai. Aku merapatkan sweaterku karena merasa dingin, entah keberanian dari mana yang membuatku kemudian dengan lancangnya menyandarkan kepalaku di bahumu, aku sudah siap dengan segala respon yang akan kau timbulkan, respon terburuk sekalipun. Lagi-lagi aku salah sangka, ternyata kau hanya diam  tak mengelak sedikitpun.

Aku bersyukur karena malam itu tidak ada pengamen maupun pengganggu lain yang akan mengacaukan. Malam itu rasanya begitu sempurna, aku tidak ingin mengakhirinya. Tanpa terasa 3 jam berlalu, waktu telah bergerak menuju angka 12, kau masih tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri percakapan kita, begitu juga aku, awalnya banyak orang berlalu lalang sampai hanya tersisa kita berdua dan segerombol orang entah dari komunitas apa, kemudian lampu-lampu siring mati dan hujan mengusir, memaksa kita untuk pulang.

Waktu begitu cepat berlalu, sepertinya aku ingin menghentikannya saja.

***

Hari-hari terus berlalu, hatiku mulai bertanya-tanya ‘Ada apa dengan kita?’. Getaran-getaran itu semakin membuat hati berani menunjukkan maksudnya.

‘Butuh waktu berapa lama untuk memastikan bahwa seseorang itu saling cocok?’ tanyaku di suatu percakapan kita di Whatsapp.

‘Selama-lamanya, sampai seperti kata NOAH aku mengerti, kamu mengerti aku, atau seperti kata D’masiv Aku percaya kamu tak peduli apa yang orang katakan tentang kamu’ jawabmu.

Aku begitu menikmati kedekatan kita, harapan-harapan yang semula tidak pernah ada perlahan mulai muncul satu per satu.

Di  pertemuan lain aku mendapat kesempatan mengulang bersandar di bahumu ketika kau mengajak ke XXI satu-satunya di Duta Mall yang juga mall satu-satunya di Banjarmasin. Seharusnya hari itu kita nonton film horror, tapi karena kita telat dapatnya malah Tampan Tailor.

‘Aku kalau nonton suka cengeng, nggak bisa terharu dikit bisa nangis, jangan diketawakan’ aku membisikimu.
‘Nggak apa-apa, aku tau kok, santai aja’ katamu sambil senyum-senyum.

Dibeberapa adegan menyedihkan sepanjang film aku menahan berat mata karena malu kalau kelihatan menangis, mataku berkaca-kaca, sesekali kau melirikku apakah aku menangis walau ternyata tidak, kau menggenggam tanganku sampai film selesai dan kita keluar bioskop, aku gelagapan sendiri, jantungku seperti mau loncat, lagi-lagi seperti mimpi.

Hari itu aku merasa seperti wanita paling beruntung dan bahagia di dunia.

***

         Pertemuan demi pertemuan terasa luar biasa. Aku ingat hari dimana kita tersesat di Landasan Ulin karena kesoktahuanku ketika kau mengantarku ke rumah keluargaku. Aku juga ingat kali kedua kita nonton dan kepergok anak-anak komunitas. Aku ingat ketika kita bertengkar kecil dan kembali baikan dengan syarat menerima ajakan makan sebagai alasan karena sebenarnya aku mengharapkan sebuah pertemuan. Kemudian ke Gramedia di jalan Veteran, tertawa-tawa melihat buku Generasi 90an, menyisir rak demi rak buku, dari tentang obat herbal sampai psikologi kematian kau membeli buku yang ku mau tanpa ku tau. Ketika kita menghabiskan malam dengan sebuah pertemuan di depan jembatan gang, sungai dan portal, aku ingat katamu hari itu ‘Anggap aja kita lagi di pinggir pantai’. 

Yang paling kusuka ketika kita bicara tentang perasaan dan kau tak hentinya menggenggam tanganku, ketika aku menjanjikan sebuah penantian walau pada kenyataannya tidak semudah itu aku bertahan. Ketika aku menanyakan apa kita teman dan kau jawab ‘iya kita teman, teman sedekat bahu’. Setidaknya aku tahu, perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, hanya saja kamu perlu waktu untuk memastikan.

Aku ingat semuanya, andai mungkin inginku runut semuanya sejak awal sampai sekarang tentangmu, tanpa kulewatkan satupun untuk kulupakan. Apapun dan bagaimanapun cara kita menghabiskan waktu selalu menjadi syukur tiada taraku atasmu.

Kamu hadir tanpa kurencanakan, di saat aku  nyaris mengabaikan segala bentuk kepercayaanku atas wujud cinta.  Awalnya aku begitu berhati-hati, aku tau seberapa lama aku memulihkan hati sejak kegegalan hubungan yang terakhir dan memilih hidup sendiri menarik diri dari percintaan. Namun kamu hadir berbahasa cinta, bercahaya penuh harapan. Pelan saja, lembut menyentuh pintu yang sudah lama berkarat dan berhasil menemukan kuncinya kemudian membukanya.

Kamu pernah tanyakan sebuah alasan terkait kenapa aku memilihmu untuk mempercayakan hatiku. Tidak satupun kata dapat kulontarkan sebagai alasannya. Jika karena kamu tampan, kamu mapan, kamu perhatian, kemudian jika semua itu hilang lantas aku harus berhenti bertahan? Lalu alasan mana yang harus kuutarakan untuk meyakinkan ketika kamu mengatakan bahwa kamu not a special one? Tahukah kamu bahwa cinta adalah alasan kemenerimaan itu sendiri. Dalam cinta tidak semua hal harus kau logikakan ketika hati menuntut banyak peran dalam arah perasaan.

Tapi jika kau memaksa aku harus mengutarakan alasannya, ya harus kuakui aku mengharapkan seseorang sepertimu sebagai tempat pelabuhan terakhirku. Kamu tampan meskipun di twitter kamu menyatakan kamu bukan orang tampan, kamu menyenangkan walaupun terkadang menyebalkan, kamu sangat dewasa, jalan berpikirmu panjang walaupun itu juga yang terkadang membuatmu pusing, kamu begitu peduli dengan keluarga, kamu perhatian bukan hanya terhadapku tapi kau juga selalu menyakan kabar keluargaku, aku nyaman berada di dekatmu, aku merasa mampu mempercayakan hari depanku kepadamu. Walaupun berkali-kali kau mengatakan alasan klise ala anak sekolahan bahwa kita tidak cocok, kamu menganggap dirimu tampak begitu buruk dan aku terlalu baik, itu tidak akan membuatku menyerah atasmu. Aku tidak pernah benar-benar memperjuangkan apa yang kuinginkan, tapi denganmu setidaknya aku tahu apa yang tidak ingin kulepaskan kali ini.

Walaupun beberapa waktu lalu aku pernah mengatakan aku telah memutuskan untuk menyerah saja, tapi kenyataannya tidak pernah bear-benar seperti itu. Memang aku lelah, aku juga marah, tapi itu bukan alasan ketika aku memutuskan untuk menyerah. Yang sebenarnya adalah aku tau rasanya dicintai dan diharapkan berlebihan sementara di sisi lain kau tidak bisa membalasnya, sangat tertekan. Aku pernah merasakan, aku mengerti, makanya aku tidak ingin lagi memaksamu untuk segera memastikannya.

Benar seperti katamu, kita sudah berada pada usia dimana tidak seharusnya lagi bermain-main, mencoba-coba, gagal dan kemudian menyakiti banyak orang, kita juga sudah tidak memiliki waktu untuk move on setelah gagal, biarkan waktu yang menjawabnya.

Aku sudah membebaskanmu, pergilah ke belahan dunia manapun yang kamu, temukanlah semua hal terbaik yang kamu mau, bahkan jika itu wanita terbaik, jika sampai pada waktunya kamu tidak berhasil menemukan dan kamu sudah lelah. Pulanglah, aku ada seperti biasa, mencintai sepertimu apa adanya dan masih di tempat yang sama, menunggu waktunya tiba.

***

Hari ini seperti biasa, masih dalam kesadaran bahwa aku terlibat dalam sebuah penantian. Ketika membuka mata di pagi hari dan membiarkan senyumanmu membayang di pelupuk mata dan membiarkannya kembali memberatkan mata untuk tertidur ketika malam tiba.

Disini, di sofa merah café tempat kita duduk malam itu, dengan segelas ice lomen tea favoritmu yang kubiarkan mencair, kenangan itu masih kunikmati walaupun terasa hambar karena kau tak termiliki.

Hey ‘teman sedekat bahu’, aku tidak pernah berubah terhadapmu, aku hanya butuh waktu untuk memantaskan diri untuk mengajukan diri sebagai pendampingmu. Menjadi wanita tercantik yang kau puji setelah Ibu dan saudara perempuanmu, menjadi wanita yang akan merapikan dan tidak akan membiarkan rambutmu berantakan setiap hari, menjadi wanita yang mencuci paling bersih, rapi dan wangi sehingga kau tidak perlu ke laundry lagi, menjadi wanita yang paling pandai memasak agar kau tidak pernah merasa bosan makan, menjadi wanita yang memiliki segudang solusi untuk setiap masalahmu agar kau tak perlu ragu lagi untuk membaginya kepadaku, menjadi seseorang yang selalu menjagamu bahkan takkan kubiarkan seekor nyamuk pun mengganggumu, menjadi seseorang yang selalu berjalan bersisian denganmu, mendampingimu menjalankan setiap adegan yang diskenariokan Tuhan dalam kehidupan.

Aku hanya merasa tidak bisa terus mengharapkanmu tanpa merasa pantas untuk memilikimu.

Tentangmu, dalam setiap sujudku aku selalu berdoa semoga Tuhan memasangkanku sebagai tulang rusukmu. Tapi jika bukan kau, aku tidak pernah berubah akan syukurku, karena Tuhan menunjukkan banyak hikmah dan aku banyak belajar dari kehadiranmu.

Maaf karena sudah banyak menyusahkan, maaf karena terkadang aku kekanakan, maaf dan terimakasih. Hadirmu adalah berkah tiada tara buatku, apa yang kudapatkan selama ini lebih dari apa yang pernah kuharapkan sebelumnya, walaupun semakin hari juga semakin ingin lebih lagi.

Saat berusaha menyelesaikan tulisan ini aku sedang menahan banyak inginku atasmu.  Aku tidak berharap kau tersentuh, karena ini bagimu mungkin hanya sebuah variasi, aku mengerti.



*Diposting ketika kupikir aku sudah menyerah, ternyata belum.

Ditulis ketika ke-GR-an dan sebelum berpikir untuk menyerah.
Tsar Cafe, 15 Juni 2013
11.02 PM


3 komentar:

Unknown mengatakan...

lanjutkan perjuangn mu heheh,.....

Unknown mengatakan...

Wah, keren ini kak! Suka sama alurnya dan mengharukan bgt perjuangannya hehe :)
Kalo ga keberatan, baca cerpen2ku juga kak, http://ceritafancha.blogspot.com/ :)

Anonim mengatakan...

Telat dpt kabarnya..
Realita kehidupan si penulis.. :)

Posting Komentar