Ini keempat kalinya aku menjejakkan kaki di Old House sejak
kepulanganku minggu lalu. Tempat ini sudah tidak asing lagi buatku. Pada zaman
kuliah, hari-hari biasa dalam satu bulan satu atau dua kali aku biasa kesini
untuk sekedar melepaskan beban dikepala dengan bernyanyi dan teriak-teriak
tanpa harus dianggap gila.
Lama tidak kesini, tak banyak yang berubah. Namun malam ini tidak
seperti biasa, Coffe Shop dilantai satu Old House tampak lebih ramai, wajar karena
ini sabtu malam. Ya, Old House adalah salah satu Coffe Shop sekaligus tempat
Karaoke Keluarga yang lumayan populer di kota kelahiranku, bukan hanya karena
tempatnya yang tepat berada di pusat kota namun juga karena desain tempatnya
yang klasik ala tempoe doeloe yang begitu menghidupkan nostalgia. Begitu sering
aku ke tempat ini, namun baru sekali aku menjejakkan kaki di Coffe Shopnya,
tapi tak berniat mengulanginya, harga tiap menunya bisa buat jatah makan anak
kos 2 kali atau sekali karaokean patungan dengan teman-teman pada saat zaman
masih kuliah.
Aku melewati jendela kaca Coffe Shop menuju Karaoke Keluarga
di lantai 2, sendirian. Sabtu malam begini teman-teman mendadak sibuk semua. Bagi
manusia normal yang punya pasangan tentu ini waktunya untuk bersama, bagi yang
single tentunya memilih tepe-tepe di tempat tertentu berharap mendapatkan jodoh
dari langit, ada juga yang ke pengajian, paling yang tersisa hanya teman-teman
pria yang lebih memilih adem ayem ngumpul bareng main PES, sedangkan bagiku
Sabtu malam itu hanya mitos! Heh, kepulangan kali ini rasanya hampa.
Coffe Shop begitu ramai, aku memilih tidak peduli namun ujung
liar indra pendengaranku menangkap sesuatu, langkahku tertahan. Kudengar
samar-samar sebuah nyanyian yang sangat sendu diiringi gitar akustik, aku
membalikkan badanku.
“I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up”
Pandangan mataku nanar menembus
sela jendela kaca berukir bunga-bunga liar dan tampak seorang pria dengan gitar
accousticnya mengalunkan lagu I Wont Give Up-nya Bruno Mars dengan begitu pilu.
Aku agak tertarik, tiba-tiba keinginan ke lantai 2 menguap begitu saja, aku
malah masuk ke coffe shop lewat pintu samping dekat tangga pintu masuk karaoke.
Pandanganku menyapu keseluruh bagian ruangan sesaat kemudian memutuskan mengambil
tempat duduk yang masih kosong di sofa dekat akuarium.
“Silakan Mbak, mau pesan sekarang atau
nanti?” Seorang pelayan menghampiriku.
“Sekarang aja” Aku mengambil menu.
Dan kemudian memesan Hot Capucinno dan Roti Bakar Coklat Srikaya. Pelayan itu
mengulang pesananku, aku hanya manggut-manggut saja.
Aku menghempaskan tubuhku di atas
sofa, aku menarik nafas berat. Hari-hari akhir terasa begitu berat, aku terlalu
tertekan dan beban, sampai menyandarkan kepala di sofa ini terasa begitu lega.
Aku merogoh kantong jumper yang ku
kenakan juga mencari-cari dalam tasku berharap dapat menemukan handphone, tapi
percuma, aku lupa bahwa aku telah meninggalkannya di kost untuk menghindari Akbar
dan juga urusan pekerjaan di Jakarta, aku sedang benar-benar ingin sendiri.
Mendadak aku teringat alasanku
mengubah niat dan memilih masuk ke coffe shop ini. Aku mengalihkan pandanganku
pada seorang pria yang masih dengan khusuknya menyanyikan I wont give up. Suara
nyanyian dan alunan gitar akustiknya memenuhi seluruh ruangan coffe shop ini, membuat Sabtu malam ini
terasa lebih galau dari biasa, aku mengusap-usap dada kiriku, rasanya nyeri.
***
Sehari sebelumnya.
Ini hari yang sangat kubenci,
semalaman aku tidak tidur karena deadline pekerjaan dari bos dan beberapa surat
yang belum sempat kusentuh. Sekarang aku harus menghadapi 3 meeting dengan jeda
1 jam hanya untuk shalat dan makan. Aku sama sekali tidak menyentuh nasi sejak
semalam, di saat-saat seperti ini nasi terasa dangat menjijikkan. Beberapa kali
aku menguap dan melihat jam yang bergelayut di tangan kiriku, waktu terasa
begitu lambat berlalu, tidak satupun yang disampaikan bos masuk kekepalaku hari
ini, rasanya hanya ingin pulang, tidur dan tenang.
Handphoneku bergetar. Bergegas aku
menjangkau tas yang kuletakkan di bawah tempat dudukku. Naya yang duduk
disebelahku hanya geleng-geleng kepala.
Satu pesan dari Akbar.
“Ingga, aku menunggu cukup lama
untuk mendengar kepastianmu, aku diburu waktu, usiaku sudah pada saatnya dan
aku telah menemukanmu untuk pelabuhanku, bagaimana denganmu? Aku ingin bicara
jika kau ada waktu jam makan siang ini”
Aku memasukkan handphone ke dalam
kantongku dan meraih tas kemudian meninggalkan meeting tanpa permisi. Ibu Zara
ternganga-nganga melihatku berlalu begitu saja. Naya rekan seruanganku di
kantor hanya mengeluh tak mampu mencegahku.
Aku berlari keluar kantor dengan
kepala sangat panas, aku sangat lelah, juga bawaan hati yang entah. Arrrghhh…
rasanya ingin segera pulang dan tidur saja. Aku mempercepat langkah kakiku
tanpa menoleh kiri kanan. Mukaku memerah.
Sesampainya di kontrakan aku
menemukan sosok Akbar di depan pagar, aku melengus tanpa mempedulikannya, Akbar
menarik tanganku. Langkahku terhenti tanpa mengubah posisi badan yang masih
membelakanginya.
“Kak, lepas sekarang, aku capek,
aku mau istirahat”
“Ingga, aku salah apa? Kenapa
tiba-tiba kamu begini?”
Aku malas sekali mengeluarkan
sepatah kata pun. Aku menghempaskan tangan Kak Akbar di pergelangan tanganku dan
berlalu begitu saja.
“Ingga, ini sudah nyaris dua tahun
kita saling mengenal, apa ada yang salah jika aku harus memastikannya? Kita
sudah berada usianya Ngga” Kak Akbar meneriakiku.
Aku membalikkan badanku. “kamu tau
apa yang salah kak? Aku yang salah, aku yang tidak bisa memastikan, aku yang
tidak bisa memantaskan diri dan mencapai level 9 yang Ibumu inginkan!”
“Kita bisa bicarakan Ngga”
Aku tidak menggubris kak Akbar dan
masuk ke dalam rumah mengambil tas dan tiket pesawat yang suda kusiapkan sejak
semalam kemudian keluar lagi mencegat taksi.
“Kamu mau kemana Ngga?”
“Bandara”
“Untuk apa?”
“Pulkam”
“Pulang? Kenapa nggak bilang dulu
Ngga? Aku antar ya”
Aku menutup pintu taksi, rasanya
kepalaku berdenyut-denyut.
Di dalam pesawat aku mengeratkan
blazerku, rasanya sangat dingin. Aku mebuang pandanganku keluar jendela, aku
mencerna apa saja yang telah terjadi selama ini. Tentang bagaimana aku bisa
sampai ke Jakarta. Tentang kak Akbar, pria dewasa, lembut dan mapan yang kurang
lebih dua tahun lalu kukenal lewat sepupuku dan setengah tahun terakhir menawarkan
pernikahan kepadaku kemudian ditengah rencana itu orangtuanya menstandarkan
level 9 untuk calon menantunya. Huh, sepicik itukah mereka melakukan penilaian
terhadap seseorang? Juga tentang janjiku 2 tahun lalu pada seseorang yang entah
mengingatnya atau tidak.
“Mbak, maaf itu kursi saya”
seseorang menyapaku
Aku menegecek tiketku “Oh, maaf”
aku telah siap beranjak berdiri. Namun pria itu menahannya.
“Kalau mbak mau duduk disitu nggak
apa-apa, kita tukeran aja”
Aku mengiyakan dan melanjutkan
lamunanku
***
“Hoiii”
Seseorang mengagetkanku, pria yang
tadi bernyanyi tiba-tiba berada di depan mataku. Aku bengong.
“Mbak ini hobinya melamun ya? Masih ingat saya?” ujarnya ramah. Aku
berusaha mengingat-ingat namun tidak berussaha mengingatnya mungkin karena
pikiranku sedang begitu kacau.
“Kita tukeran tempat duduk kemarin
di pesawat”
“Oh, iya, maaf saya lupa”
“Wajar, mbaknya kan melamun aja
sepanjang perjalanan. Oya kemarin belum sempat kenalan” orang itu mengulurkan
tangan “Ryan” ujarnya lagi.
“Ingga” kataku singkat.
Pesanananku datang, Ryan masih
menemaniku, kami ngobrol banyak. Entah bagaimana caranya orang yang duduk bersebelahan
di pesawat kemudian bertemu lagi dan ngobrol panjang lebar seperti sudah kenal
lama dan kemudian saling bertukar kontak BBM.
“Kamu nyanyinya bagus, aku suka, sampai-sampai tadi mau
karaokean malah nggak jadi gara-gara dengar kamu nyanyi” ujarku.
“Kamu suka nyanyi juga?”
“Iya suka, apalagi kalau lagi
stress, tapi aku nggak bisa nyanyi, sekedar suka aja”
Tiba-tiba Ryan berdiri dan kembali
ke stagenya
“Iya malam ini saya kedatangan
tamu special, seseorang yang bela-belain nggak jadi karaokean karena dengar
saya nyanyi, sebagai gantinya kita bakalan minta dia karaokean disini nyanyi
bareng saya, ya langsung saja kita panggilkan gadis cantik berbaju biru di
ujung sana untuk ke depan”
Aku terkaget-kaget “dasar gila”
umpatku dalam hati. Aku berusaha menolaknya namun pengunjung café yang lain begitu
semangat memintaku maju ke depan. Aku pun mengalah.
“Kamu gila ya?” bisikku pada Ryan
yang sudah stand bye dengan gitarnya.
“Aku dengar kamu nyanyi di
pesawat, bagus… Mau lagu apa?” ujarnya
“Terserah, kalo aku jelek
nyanyinya kamu tanggung jawab lho, di marahin bos kamu yang tanggung jawab ya?
“Tenang, bos disini baik kok”
Ryan memulai petikan gitarnya,
Buat aku tersenyum, lagu yang kunyanyikan di pesawat.
“Datanglah sayang dan biarkan ku
berbaring di pelukanmu walau untuk sejenak, usaplah dahiku dan kan kukatakan
semua” aku memulai dengan agak bergetar dengan kemampuan menyanyi selevel bilik
karaoke.
“Bilaku lelah tetaplah disini
jangan tinggalkan aku sendiri, bilaku marah…”
Aku takjub mendengar suaranya, ah
pria ini.
Selesai bernyanyi pengunjung
bertepuk tangan dan meminta lagi. Namun aku menyudahi karena sudah larut malam
dan aku segera ke kasir untuk membayar.
“Udah dibayar Mbak”
“Siapa?”
“Udah anggap aja saya yang traktir
malam ini, jangan suka bengong lagi ya?”
“Apa-apaan sih, saya jadi nggak
enak”
“Udah, datang lagi lain waktu ya?”
Aku mengiyakan, dan kemudian pamit
pulang. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi malam itu. Rasanya hatiku
begitu senang.
***
“Aku pulang”
Kataku di sebuah pesan pada sebuah
kontak telepon yang beberapa bulan terakhir sama sekali tidak kujamah.
“Hah, kapan? Berapa lama?”
“Kemarin, nggak tau, sampai bosan.
Sibuk? Bisa ketemu?”
“Ok, nanti malam”
“Sip, kabarin”
“Ok”
Singkat, begitulah gayanya, belum
berubah sejak pertama kali dekat 2,5 tahun lalu. Malam ini adalah pertama kali
bertemu lagi sejak pertemuan terakhir 2 tahun lalu. Aku berdebar-debar
menunggu. Inikah masanya?
Aku sama sekali tidak tahu menahu
tentang kabarnya. Lama sejak aku memutuskan untuk tidak mengikuti aktifitasnya
di facebook, twitter atau dimanapun yang berhubungan dengannya. Haruskah aku
mepertanyakan kembali janji itu malam ini? Apakah dia masih sendiri? Atau malah
sudah memiliki calon istri? Ingatkah dia dengan janji kami malam itu? Seharian
rasanya tak enak sama sekali.
Ajakan keluar dengan teman-teman
lama kuabaikan, dengan alasan tidak enak badan. Berkali-kali Akbar menelponku
juga kuabaikan.
Aku tidak mengerti dengan hatiku, Akbar
sudah begitu baik selama ini, tidak sekalipun dia menyakitiku, bahkan dia
sesuai dengan apa yang ku kriteriakan. Namun, entah kenapa janjiku 2 tahun lalu
masih menjadi pertimbangan. Bagaimana mungkin aku masih mengharapkan seseorang yang
tanpa kejelasan kabarnya dan berjarak dalam waktu yang lama. Bakti, pria itu,
bagaimana bisa aku belum berubah terhadapnya?
Malam yang dijanjikan tiba, namun
hujan turun dengan sangat derasnya. Ibu menyapaku yang cemberut di teras karena
sudah bersiap-siap namun seseorang yang ditunggu malah membatalkan janjinya.
“Nggak jadi Mbak?” tanya ibu yang
duduk disebelahku.
“Iya Bu, hujan gini, mana enak
jalan, besok katanya”
“Sama Bakti?”
“Iya bu, ada apa?”
“Udah lama lewat, masih sama dia
aja?”
“Bawaan hati bu, perasaan nggak mudah
dipindah-pindah”
“Kenapa nggak ajak dia nikah aja?”
Aku terdiam.
“Itulah bu, kalau seandainya Ibu
jadi Ingga, ada pria baik hati yang jelas-jelas cinta sama kita tapi kita masih
ngarepin orang yang nggak jelas bisa sama-sama kita atau nggak walaupun udah lama
nunggu, Ibu bakalan ngelakuin apa?”
“Ingga kan sudah dewasa. Cinta itu
nggak bisa dilogikakan sayang.”
“Tapi bang Bakti gitu bu,
logikanya kuat banget”
“Bakti itu pria dewasa Ngga, yang
hidup dari nol sampai masa jayanya sekarang, dia tau betapa sulitnya hidup,
itulah yang membuatnya tidak ingin terluka juga melukai”
“Akbar juga dewasa bu, dia
kelihatan banget kalo sayang sama aku, tapi orangtuanya itu loh”
“Akbar biasa hidup enak kan sejak
kecil? Dia nggak perlu banyak usaha untuk mendapatkan apa yang dia mau, makanya
dia ngebet banget sama kamu”
“Jadi Ingga harus gimana bu?”
“Jawabannya ada dihati kamu” Ibu
tersenyum, kemudian beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah.
Aku masih betah melihat rintikan air
langit yang jatuh. Tidak jauh lebih kelu dari hati yang membeku karena tidak
mampu mengubah haluan lagi.
***
Aku melihat sebuah emoticon yang
dikirim Ryan lewat sebuah pesan jejaring social.
“Ada apa Ry”
Ryan mengajakku nonton siang
nanti, tapi aku mengatakan aku ada janji.
“Sama siapa Ngga? Pacar yaa…”
“Ngawur, mana ada pacar? Lagian
pria mana yang mau sama cewek kayak aku? Sibuk, mana sempat ngurusin pacar,
haha”
“Hahaa, minder dia, nggak lah
Ngga, kamu cantik lagi, dewasa banget lagi, aku mau kok sama kamu”
“Hush… hahaa semua cowok juga
bilang gitu :p”
Aku mengakhiri pembicaraanku
dengan Ryan saat Ibu memanggilku. Aku turun tangga dan melihat Bakti berbincang
dengan ibuku, sudah lama sekali, tidak ada yang berubah, rambutnya masih
berantakan seperti biasa. Aku bergetar.
“Sudah siap?” tanya Bakti. Aku
mengangguk.
Lalu Bakti pamitan dengan Ibuku.
“Apa kabar?” katanya sambil
tersenyum seolah-olah tidak ada ganjalan apapun di hatinya tentang kami. Aku
tidak menjawab, hanya tersenyum.
Bakti membukakan pintu mobilnya
untukku. Dalam perjalanan aku banyak diam, berusaha menguasi hatiku, isi
kepalaku yang begitu sesak seperti ingin meledak, begitu banyak pertanyaan yang
ingin kuajukan tapi aku tidak tau harus dari mana memulainya.
“Sudah makan?”
“Belum, sejak semalam”
Bakti memebelokkan mobilnya ke Old
House, tampak Ryan senyum-senyum dari kejauhan melihat aku dan Bakti masuk ke
Coffe Shop. Tidak seperti biasanya, kali ini Ryan sama sekali tidak
menghampiriku, tampaknya dia mengerti akan situasinya.
Aku berjalan disamping Bakti, dia
menoleh ke arahku namun aku tidak mengalihkan pandangan ke arahnya.
Kami duduk berhadapan, masih
seperti dulu juga aku yang menulis menunya.
“Mau pesan apa?”
“Seperti biasa, masih ingat?”
Lalu aku menuliskan lemon tea.
Dia asik memencet-mencet
handphonenya, kebiasaan itu juga sama seperti dulu. Aku memandangi
sepuas-puasnya. Melihat senyumnya, kureguk sepuas-puasnya kerinduan yang
bergumpal-gumpal dalam dada.
“Rambut, masih seperti dulu,
berantakan” kataku. Dia hanya tersenyum.
“Agak kurusan” kataku lagi.
“Iya nih” katanya sambil
memasukkan hapenya ke kantong kemejanya, karena merasa aku membuka pembicaraan.
Dia menatapku tajam, lama dengan
senyumnya. Aku tertuntuk.
“Ingga kerjanya gimana di Jakarta?
Senang?”
“Yaa gitu lah, abang gimana?”
“Yaa gitu juga, udah mulai stabil,
dikit lagi bakalan bisa santai”
Hening lagi.
“Bang…”
“Hmmm…”
“Udah punya belum?”
“Punya apa?”
“Hmmm… cewek, atau temen deket”
“Sempet, deket, tapi hilang gitu
aja, nggak kayak kamu”
“Aku kenapa?”
“Kamu nerima aku banget”
“Bang. Boleh tanya? Masih ingat
yang dulu?”
“Yang mana?”
“Ya udah kalo abang lupa”
“Beneran Ingga apaan? Kalo aku
lupa diingetin donk”
“Ya sudahlah…” aku sedikit kecewa
“Ingga…”
Aku berharap ada pencerahan. Bakti
menarik tanganku.
“Aku tau kamu bakalan nanya janji
itu kan”
Aku mengangguk.
“Aku belum bisa Ingga”
Aku tersentak, “Abang ada yang
lain?”
“Tidak Ngga, aku merasa belum
siap, aku belum mau dikekang, aku mau melanjutkan karir yang sedikit lagi
berada pada puncaknya”
“Tapi bang ini sudah 2 tahun, aku
harus menunggu berapa lama lagi? Kamu lupa kalau aku wanita? Aku sudah sampai
pada usiaku”
“Bang, kamu pikir dengan bersamaku
kamu akan kehilangan kebebasanmu? Hobimu? Pekerjaanmu? Teman-temanmu? Tidak
akan bang, aku kan sudah bilang selama ini. Apa aku ada potensi jadi pengekang
yang baik bang? Apa selama ini aku pernah mengeluh soal teman-teman atau
hobimu?” Aku mencecar Bakti yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.
“Aku sudah berusaha Ngga, tapi aku
benar-benar belum siap. Kamu baik, kamu yang paling bisa menerima aku, aku suka
kamu perhatikan, kamu penting buatku. Tapi aku nggak cocok buatmu Ngga, aku
nggak sebaik yang kamu pikirkan, kamu terlalu baik buatku”
“Alasan klise anak sekolah! Kita
sudah dewasa bang!”
“Ingga, tolong mengerti aku”
“Apa selama ini aku tidak mengerti
kamu bang?”
“Ingga…”
“Aku pikir setelah selama ini aku
pergi dan berusaha memantaskan diri untuk mendampingimu, aku sudah cukup
buatmu, ternyata tidak bang, kamu tidak perlu aku. Aku pergi”
Aku melepaskan tangan Bakti dan
meninggalkan Bakti sendirian yang bahkan tidak berusaha menahanku untuk pergi.
***
Seminggu sudah aku berusaha
bersikap sewaras mungkin, bertindak seolah aku baik-baik saja. Nyaris tiap hari
aku menghabiskan waktu-waktu yang berlalu di Old House. Ryan mulai hafal
kebiasaanku dari pukul 8 – 11 malam dan yang tidak pernah ketinggalan adalah
segelas lemon tea.
“Kamu kenapa sih Ingga? Kelihatan
lebih suram dari waktu di pesawat waktu itu, jelek tau kalo lagi gitu”
Aku berusaha membentuk sebuah garis
lengkung di bibirku “Masa? Ini udah senyum”
“Ada apa sih Ngga? Cerita aja kalau
kamu mau, nggak cerita juga nggak apa-apa”
Aku menghela nafas panjang dan
menghempaskannya “Kamu ingat pria yang waktu itu datang denganku kan?”
“Iya, yang mirip cowok itu kan?”
Ryan menunjuk seorang pria yang baru masuk Coffe Shop Old House yang postur
tubuhnya memang mirip Bakti.
Aku mengangguk, “Aku baru gagal
dengan dia”
Ryan tampak iba “Udah berapa lama
prosesnya?”
“Dua tahun lebih, sejak zaman
kuliah” Ryan ternganga. Lalu dia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi
berusaha menghiburku, namun lagu sebahagia apapun akan tetap terasa menyedihkan
ketika sedang patah hati.
***
Berhari-hari aku memikirkan, aku
telah memutuskan untuk menyerah. Benar-benar menyerah. Tidak seperti yang kutakan
2 tahun lalau sebelum hijrah ke Jakarta.
Kali ini tidak ada lagi janjiku “Dua tahun lagi aku boleh kembali lagi dan
minta seriusi kan?” seperti 2 tahun lalu. Aku final. Aku telah memutuskan untuk
kembali ke Jakarta dan mulai memikirkan akan menerima pinangan Akbar. Akbar
telah berhasil membujuk kedua orangtuanya untuk tidak membicarakn standar. Aku
berada di ambang kebimbangan. Cinta itu memaafkan, sekalipun kamu tersakiti
olehnya, namun kamu masih bisa memaafkan tanpa dia minta.
Hari terakhir di kota kelahiranku,
aku mengunjungi semua tempat yang pernah kusinggahi dengan Bakti, tanpa
kulewatkan satu pun. Bioskop tempat kami nonton, tempat pertama kali aku menyandarkan
kepala dibahunya, makan di semua café dan tempat makan yang pernah kami
singgahi berdua dan ditutup di tempat terakhir kami bertemu, Coffe shop Old House.
Aku memesan es krim coklat beberapa porsi dan beberapa gelas lemon tea, ku
habiskan semuanya, Ryan tampak khawatir kepadaku. Kepalaku rasanya pusing,
perutku sudah menolak untuk dimasuki makanan lagi, rasanya mual. Aku berlari
terburu-buru ke kamar mandi, aku muntah tanpa sempat menutup pintu toilet.
“Kamu kenapa sih Ingga, sepanjang
aku mengenalmu aku tidak pernah melihatmu benar-benar tertawa” tanpa kusadari
Ryan sudah berdiri dibelakangku dan mengurut punggungku. Aku sudah tanpa daya
mengelaknya. Kapalaku rasanya pusing, aku mencoba berdiri namun aku nyaris
terjatuh seandainya Ryan tidak menangkapku. Aku tidak dapat menahan air mataku,
aku menangis dan itu… dalam pelukan Ryan.
***
Keadaanku cukup baik setelah
beristirahat selama 3 hari, setelah Ryan mengantarku ke dokter dan kemudian
pulang malam itu. Pagi ini aku sudah memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
Setelah berpamitan dengan ibu aku berangkat ke bandara dengan diantar Ryan.
Sebelum masuk ke ruang tunggu aku menyerahkan sebuah USB kepada Ryan.
“Buat kamu Ry”
“Apaan nih Ngga?”
“Kalau-kalau aku nggak balik
kesini lagi. Kenang-kenangn buat kamu, isinya puisi-puisi yang kutulis selama
dua tahun ini”
Dibandara berkali-kali aku menoleh
ke arah pintu masuk, masih berharap akan ada yang mengejarku dan menahanku untuk
pergi. Namun sia-sia, tidak ada seorang pun yang menahanku. Tidak ada adegan
kejar-kejaran dan peluk-pelukan di Bandara seperti di drama-drama Korea. Aku melambaikan
tangan pada Ryan saat akan masuk ke ruang tunggu.
Perjalanan satu jam empat puluh menit yang terasa sangat
meneyedihkan. Akhirnya aku menginjak Jakarta lagi. Aku langsung mengabari Ibu
dan Ryan sesaat setalah sampai dan kemudian tertidur karena kelelehan.
Keesokan paginya saat akan
berangkat ke kantor untuk pertama kali setelah sekian lama. Beruntung karena
aku tidak dipecat.
Aku begitu terkejut melihat
sesosok yang sangat kukenal tengah tertidur setengah menyandar di salah satu
tiang teras rumah kontrakanku.
“Bbbaaakti…” pekikku.
“Bagaimana bisa orang ini sampai
disini?” Aku mengusap wajahnya, air mataku meleleh. Orang yang kusentuh
wajahnya terbangun dan segera membenarkan posisi duduknya.
“Inggaa…” Hanya itu yang keluar
dari mulutnya.
“Abaang… Kenapa nggak bilang kalau
mau datang? Kenapa nggak bangunin Ingga aja? Abang ini kenapa sih? Bukannya
abang tau aku tidak pernah membiarkan seekor nyamuk pun gigit abang, abang malah
tidur di luar” ujarku terbata-bata masih sambil terus bercucuran air mata.
Bakti memegang tanganku yang mengusap wajahnya.
“Ingga… Maaf, aku minta maaf”
matanya berkaca-kaca.
“Udah bang, abang nggak ada salah,
Ingga sudah maafin abang”
“Aku salah… Aku…” aku tidak
membiarkan Bakti menyelesaikan kalimatnya, aku memeluknya erat, sangat erat.
“Terimakasih sayang, Miss you…”
bisiknya ditelingaku. Pertama kalinya Bakti memanggilku sayang.
“Apa bang? Aku boleh dengar lagi?”
“Sayang, miss you…”
“Miss you too… Miss you so bad…”
Aku segera melepaskan pelukanku
karena rasa penasaranku.
“Apa yang membawa abang sampai kesini?”
“Aku sudah memikirkannya Ingga,
semuanya… Aku hanya terlalu lama hidup sendiri, aku tidak terbiasa dengan
kehadiran wanita, tapi kalau harus tanpamu aku tidak yakin bisa Ingga… Aku
sadar aku pengecut, aku egois karena tidak mau membiarkan diriku terluka dan aku
sudah berburuk sangka padamu. Tapi setelah selama ini aku tau, benar katamu
kamu takkan membatasi duniaku, karena kamulah yang kan jadi duniaku. Kamu orang
yang tepat untukku mempercayakan hati yang lama kurawat dan kujaga sendiri.
Juga karena ini Ngga… terimakasih…” Bakti menunjukkan sebuah USB yang dikeluarkannya
dari kantongnya.
“USB ini sampai ke kamu?”
“Iya Ingga, saat kamu berangkat ke
bandara aku datang ke rumahmu ingin menyampaikan maaf, tapi ibu bilang kamu
baru aja berangkat ke bandara. Tapi aku terlambat kamu sudah pergi, tiba-tiba di
parkiran seorang pria menyerahkan USB ini kepadaku, dia bilang isinya semua
tentangku. Kamu mau kumpulan puisi ini jadi souvenir pernikahan kita kan? Lalu
kenapa kamu berikan ke orang lain Nggaa?”
“Aku pikir aku tidak ada harapan
lagi, untuk itu…”
Bakti memelukku lagi, kali ini
lebih erat. “Ingga, kalau kau lelah kenapa harus pergi lagi? Pulanglah, disana
ada aku, masa depan kita”
Hening, aku hanya
mengangguk-angguk dalam pelukannya.
***
Aku masih meringkuk dalam selimut
hangat ketika hujan turun dan waktu menunjukkan pukul 4.30 pagi. Namun aku mengurungkan
niatku untuk melanjutkan tidurku karena sesosok yang tertidur lelap di sampingku.
Aku mengecup keningnya dan membangunkannya. Ya, dia Bakti, akhirnya dia menjadi
seseorang yang pertama kali kulihat setiap aku bangun tidur.
Cinta itu memaafkan, cinta itu
juga keajaiban, saat nyaris tiada harapan, dia menunjukkan kejutan yang luar
biasa. Semua ini adalah yang terindah untukku, aku memang pernah luka karenanya,
namun pada akhirnya dia jugalah yang menyembuhkannya.
Inilah akhir dari sebuah
penantian. Tidak selamanya membahagiakan memang, kadang terasa sangat
menyedihkan, juga banyak yang berakhir menyenangkan, semua tergantung bagaimana
kita menyikapinya, apapun endingnya tetaplah percaya Tuhan selalu ada dan
menyediakan bahagia di akhir cerita, bukan hanya untukku, tapi kita semua.
*Kayu Tangi, 7 Mei 2013
11.18 PM
0 komentar:
Posting Komentar