Rasanya seperti mimpi,
hari itu baru sehari berselang sejak kepulanganku ke kampung halaman yang
terakhir. Pukul 5, tidur soreku dikejutkan oleh sebuah SMS yang masuk ke
handphone bututku hari itu, dari nomor jauh, tumben sekali Ulak2
Jakarta SMS saat-saat seperti ini.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun, turut berduka cita atas
meninggalnya mbah Ayu”
Astagfirullah, aku
terduduk, badanku gemetar, aku masih mencoba mencerna kalimat yang baru saja
kubaca, terus ku baca berulang-ulang tapi aku tidak tau harus berbuat apa.
“Mbah? Mbah yang mana?
Mbah Lanang3 sehat kok, mbah yang mana lagi? Masa Mama Agus? Mama
kan sudah sehat habis keluar dari rumah sakit?” Aku meracau sendiri sekalipun
masih berusaha mengendalikan diri.
Aku menelpon Ibu tapi tidak
ada jawaban, Ayah juga, Bibi juga, aku mulai kacau, sampai Angga, sepupuku
mengangkat teleponku, aku mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
“Tadi ulak sms, katanya
mbah meninggal? Mbah yang mana? Kok aku nggak dikasih kabar? Kok malah duluan
yang di Jakarta tau?”
“Mama Agus pang4”
“Ya Allah Mamaa, kenapa
meninggal? Mama kan sudah sehat? Mamaa?”
Aku meraung lepas kendali,
Angga mematikan teleponku. Tangisku makin menjadi tenggelam dalam kamar kostku,
teman-teman kos ku terhenyak, beberapa diantaranya berusaha menenangkanku. Sama
sekali tak tenang, pada saat terakhir aku tidak bisa melihat bahkan menemani
beliau. Jarak antara kota Banjarmasin tempatku kuliah sekarang harus ditempuh
dengan waktu 6-7 jam, lagi pula sudah pukul 5, aku harus cari taksi dimana?
Adik laki-lakiku bagaimana di Banjarbaru? Apa sudah ada yang ngasih kabar?
Aku menelponnya “Bang,
udah tau kalau Mama Agus meninggal?”
Yoga tergagap di ujung
sambungan telepon “Jangan bercanda kamu!”
“Mbak serius bang”
Telepon mati tutt tuuuttt tutttt
Sebuah pesan masuk dari
Yoga.
“Mbak, kita pulangan
yok?”
“Mana ada taksi jam
segini? Kalau bisa pulang juga paling nggak sempat nemuin Mama juga”
Aku menunggu, tapi tidak
ada balasan lagi.
Aku tau dia akan sangat
terpukul, dia cucu kesayangan Mama.
***
5 hari sebelumnya, pada
hari selasa Mama masuk rawat inap di Puskesmas terdekat karena susah makan dan
tidur, dari dokter di diagnosis Mama mengidap penyakit jantung dan paru-paru.
Mama terlalu pendiam,
beliau nyaris tidak pernah mengeluh sesakit apapun, sampai anak-anak beliau
ingin membawa rawat inap di RSUD saja beliau menolak. Itulah mama, sosok tenang
yang nyaris seperti tanpa masalah, didalamnya siapa yang sangka?
Pada hari Rabu aku pulang
kampung dan menunggui beliau di tempat rawat inap sampai beliau diizinkan
Dokter pulang pada hari Sabtu. Seenak-enaknya tinggal di rumah sakit, di kasih
makan, nggak ngapa-ngapain tetap aja nggak betah, orang sehat pun terasa sakit
pada saat-saat seperti ini.
Aku menyuapi beliau
supaya mau makan, tapi beliau tidak bisa makan karena banyak sariawan. Aku
mencarikan minyak kayu putih bergambar gajah favorite beliau, mengajak beliau
bercanda, beliau berusaha tersenyum walau tampak lebih diam dari biasa, dan
yang paling kuingat dan tidak pernah bisa lupa adalah ketika pertama kalinya
aku menggantikan baju Mama pada hari terakhir Mama dirawat. Ya ini pertama
kalinya seumur hidup setelah sekian lama di masa kecilku Mama menggantikan
bajuku, bahkan sampai aku MTs. Karena kebandelanku aku harus pergi dari rumah
orang tua dan harus tinggal di rumah Mama, beliau masih sesekali mencucikan
bajuku.
Aku tidak pernah
memikirkan kali itu akan jadi yang pertama dan yang terakhir aku menggantikan
pakaian Mama. Ah, andai waktu boleh kuputar kembali, aku ingin menggantikan
baju mama setiap hari, ratusan hari, selama-lamanya selama aku bisa, sungguh
aku ingin waktu itu datang lagi, aku ingin menebus semua, aku ingin membahagiakan
beliau lebih dari yang beliau dapatkan selama ini.
Sabtu mama keluar dari
RS, aku banyak bersyukur, mama makan banyak hari itu, Mama makan Nasi Pundut5
hari itu, mama tampak sangat sehat, akupun lega, aku berpamitan karena Minggu
siang aku harus kembali ke Banjarmasin. Saat melihat Mama perasaanku sama
seperti terakhir kali melihat almarhumah Mbah Yut6 sebelum
meninggal, seperti akan melihat yang terakhir kali. Tapi ku abaikan, aku masih
ingin lagi, lagi dan terus lagi melihat beliau. Ku pikir, ah ini mungkin hanya
perasaanku saja, walau pada akhirnya semuanya benar iya adanya.
Padahal sebelum
kepulanganku, aku sempat menanyakan kabar Mama pada Bibi Agus untuk lebih
meyakinkan diri untuk kembali ke Banjarmasin, karena bibi yang masih serumah
dengan Mama dan Mbah lanang. “Mama gimana Bi? Udah baikan?”
“Iya, makannya banyak,
udah nggak apa-apa kok?”
Aku lega, paling tidak
aku bisa meninggalkan beliau kembali ke Banjarmasin dengan tenang.
Dan hari itu berlalu
begitu saja tanpa prasangka apa-apa. Sampai kabar kepergian beliau kudengar
keesokan harinya.
***
Tepat pada hari ke 100
meninggalnya beliau aku baru bisa pulang kampung menengok makam beliau. Dalam
100 hari itu juga beliau berkali-kali hadir dalam mimpiku, dengan wajah sendu,
hanya diam tapi raut wajahnya seperti berbicara. Di mimpi yang lain nenek
menunjuk sebuah pohon mawar yang aku tahu itu adalah bunga favorit beliau,
masih tanpa bicara. Kata orang kalau keluarga yang sudah meninggal hadir di
mimpi tapi tidak berbicara berarti mimpi itu benar, tapi kalau berbicara
berarti datangnya dari Iblis, entahlah. Yang jelas aku melihat wujud beliau
dengan sangat jelas di mimpiku waktu itu.
Bahkan sampai hari ini,
saat aku mengenang beliau lewat tulisan ini, sudah melewati waktu nyaris 1
tahun 4 bulan, saat itu beliau meninggal pada bulan Februari 2012. Namun
rasanya Mama masih ada sampai saat ini.
Aku masih sering menyebut
rumah Mbah sebagai rumah ‘Mama Agus’, terkadang rasanya saat tidur di kamar
tengah aku masih melihat Mama tidur meringkuk tanpa selimut seperti biasanya, saat
hujan juga terkadang aku masih membayangkan Mama duduk termenung di kursi ruang
tamu dengan diam, pagi-pagi juga aku masih terbayang Mama yang sudah siap
dengan nasi gorengnya di dapur, melihat mama bersandar sambil melipat tangan ke
belakang, melihat Mama mengurut bayi-bayi tetangga dengan penuh kasih sayang,
aku masih merasakan hangatnya ketika Mama meletakkan selimut di atas tubuhku
ketika aku tertidur, aku juga sangat ingat bagaimana bencinya Mama ketika kami
cucu-cucunya dimarahi atau dipukuli orangtua kami, Mama juga tidak pernah mau
bicara lama ditelpon denganku, hanya beberapa detik saja, karena setiap bicara
ditelpon denganku suara Mama selaulu bergetar seperti akan menangis, selalu
bergetar hati ini ketika mengenang suara lembut Mama menasehati kami, memanggil
kami, ketika sedih, senang, marah nada bicara Mama selalu sama lembutnya, semuanya
masih terasa hangat dalam ingatan, semuanya tak satupun aku melewatkannya.
Bukan hanya dengan
keluarga, dengan anak orang lain pun beliau sangat lembut dan penyayang.
Sungguh beliau adalah wanita yang sangat luar biasa.
Wanita paling lembut
dunia, iya, cuma Mama. Ibuku, aku, semua cucu dan anak-anak beliau belajar dari
beliau. Mama bukan hanya berkesan mendalam bagi kami keluarga besar, namun juga
bagi tetangga, semua orang menangisi beliau ketika beliau meninggal.
Kata Ibu, waktu pemakaman
Mama, banyaak sekali tamu yang hadir melayat dan mengantarkan Mama ke
peristirahatan terakhir beliau. Hal itu cukup menandakan betapa Mama disayangi
semua orang. Bahkan pada acara haul Mama yang pertama, selain kami keluarga
yang ditinggalkan, tetangga yang datang pun masih banyak yang meneteskan air
mata karena mengenang beliau.
Anganku tak pernah habis
tentang Mama, aku menyimpan salah satu sweater kesayangan Mama, ketika rindu, memakai
sweater itu rasanya hangat sekali, seperti memeluk Mama erat ketika akan tidur
dan aku takut mendengar bunyi suara burung hantu dulu.
Sungguh setelah kematian
Mama, sesalku tidak pernah habis akannya. Setiap berada di pasar, dimanapun aku
bertandang aku selalu terkenang Mama. Rasanya ingin membelikan jilbab, baju,
makanan yang enak-enak, semuanya yang bisa aku belikan untuk Mama, aku ingin
mengajak Mama ke semua tempat yang menyenangkan, ke Jakarta, Bandung, Mekkah,
semua tempat yang mungkin kujelajahi, sebagai wujud kasih sayangku untuknya,
sebagai wujud betapa bersyukurnya aku karena memiliki beliau, yang sayangnya
semua itu tidak pernah kulakukan selama Mama hidup. Satu kalipun aku tidak
pernah membelikan dan memberikan Mama apapun, bahkan waktuku untuk beliau pun
tidak dapat selalu terpenuhi. Andai mungkin, aku ingin kembali ke masa itu, dan
kulakukan semua yang mungkin kulakukan untuk Mama.
Sekarang, tiap kali
pulang kampung, aku hanya dapat menemui nisan Mama, bercerita banyak di
atasnya, membacakan doa berharap doa-doaku dapat menemaninya dialam sana.
Semoga Mama selalu diberi kelapangan dan cahaya terang dikubur beliau. Semoga
Mama selalu disayang Allah seperti Mama menyayangi kami selama ini.
***
Waktu manusia siapa yang
tahu? Andai maut itu ada baunya, paling tidak kita bisa mempersiapkan diri
untuk kehilangan atau membuat orang lain kehilangan. Tapi disitulah letak
hikmahnya, bukannya lebih bagus dengan ketidaktahuan begini? Sebab seharusnya
kita bisa menghargai setiap waktu dan kesempatan yang hadir untuk bersama
orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang kita ingin hidup bersamanya.
Namun justru sering kali ketidaktahuan inilah yang pada akhirnya menjauhkan
karena merasa memiliki banyak waktu lain yang tersisa, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Kemudian kita bisa menjadikan kesibukan tetek bengek kehidupan
lain yang sebenarnya bisa di kesampingkan untuk sekedar menemani Mama belanja,
menemani Ayah berkebun, menemani kakek nonton bola, berdiskusi dengan kakak,
membantu adik mengerjakan PR, menemani nenek memasak, dll.
Siapa tahu minggu depan,
besok hari bahkan satu jam lagi kita tidak memiliki kesempatan untuk
melakukannya? Mungkin kita yang akan lebih dulu menyelesaikan permainan hidup
ini, mungkin juga justru kita yang akan meratapi orang-orang yang kita cintai
mengakhirinya terlebih dahulu, siapa yang tahu?
Lalu sekarang tunggu
apalagi? Bila ada handphone di sebelahmu yang lebih sering kamu pakai twitteran dari pada menelpon menanyakan
kabar rumah, ambil sekarang teleponlah ayahmu, ibu atau siapapun yang
mencintaimu dalam diam, tanpa kata yang disampaikannya dengan sengaja. Siapa
tahu mereka sedang sakit, sedang bersedih, menghadapi masalah yang tidak
terperi tapi tidak mengatakannya kepadamu. Bukan bermaksud membuatmu tak
berarti, bukan berarti mereka tak sayang, tapi mereka membayangkan betapa
sibuknya kamu mengerjakan tugas-tugas dan berjuang untuk hidup dan mereka tidak
ingin mengganggu bahkan membebanimu dengan cerita-cerita mereka, walaupun
keadaan sebenarnya kita lebih banyak jalan-jalannya dan tertawa-tawa berlagak
sok kaya dan berhura-hura.
“Kau takkan pernah tau
apa yang kau miliki sampai nanti kau kehilangan” (Percayakan Padaku - Sheila On
7)
***
Keterangan :
Mama Agus1 : Panggilan sayang dari cucu-cucu untuk nenek dari keluarga Ibu
Ulak2 : Panggilan untuk Kakak dari Ayah dalam bahasa Banjar
Mbah Lanang3 : Panggilan
untuk Kakek dari keluarga Ibu dalam bahasa Jawa
Pang4 : Imbuhan pada akhir kalimat dalam bahasa banjar, seperti ‘deh’
dalam bahasa Indonesia
Nasi
Pundut5 : Makanan Banjar berbentuk nasi yang
dibungkus dalam daun dan dimasak dengan santan
Mbah Yut6 : Nenek
buyut, Ibu dari Nenek keluarga Ibu, dalam Bahasa Jawa