Orang Miskin Dilarang Sekolah (Pendidikan Untuk Semua Part. 2)


Keadaan bangsa ini semakin hari semakin menyedihkan. Berbagai elemennya penuh dengan kebobrokan, dalam bidang ekonomi, keamanan, kesehatan, hukum, termasuk juga pendidikan. Pendidikan selalu menjadi topik hangat yang jika diperbincangkan tidak akan pernah ada habisnya. Ya, pendidikan negeri ini perlu banyak bermuhasabah diri.

Lagi-lagi saya akan memulainya dengan sebuah cerita pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya ditanyai oleh salah seorang Ibu kenalan saya, mengenai biaya masuk salah satu perguruan tinggi negeri di Banjarmasin tempat saya mengenyam pendidikan sekarang. Ketika saya mengatakan nominalnya beliau terkejut dan mempertimbangkan kembali apakah akan memasukkan anak beliau ke kampus saya atau tidak. Singkatnya, Ibu tersebut tidak jadi memasukkan anak beliau ke kampus saya dan memilih alternatif lain karena tidak memiliki biaya. Padahal saya tahu kemampuan anak Ibu tersebut sangat baik sepanjang masa sekolahnya.

Bukan rahasia, di negeri ini untuk mengecap pendidikan yang berkualitas kita harus merogoh kocek yang lebih banyak. Pendidikan yang berkualitas hanya akan dikecap oleh kalangan berduit, yang memiliki kemampuan secara finansial lebih diprioritaskan karena dianggap dapat memberikan keuntungan. Yang tidak mampu membayar lebih hanya akan mendapatkan pendidikan ‘pinggiran’ bahkan tidak dapat mengenyam sama sekali. Menakjubkan karena pendidikan masa kini lebih mirip dengan pasar.

Mungkin akan sedikit termaafkan jika dengan sejumlah nominal yang disetorkan sesuai dengan kualitas yang disajikan, pada kenyataannya kemana larinya recehan-recehan tersebut selalu menjadi pertanyaan. Pendidikan tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun justru menciptakan generasi-generasi ‘instan’ yang kurang berpengalaman, berakal culas dan berkepribadian rapuh. Sehingga bangsa ini dikelilingi oleh orang-orang malas yang ingin hidup berkelas tanpa harus bekerja keras yang menjadikan Negara ini surga buminya korupsi tanpa bisa diberantas.

Tanpa data statistik pun kita dapat melihat dalam dunia nyata bahwa tidak semua warga Negara di Indonesia ini mengenyam pendidikan seperti yang seharusnya. Yang kaya yang berjaya, yang miskin menderita, bersengat matahari mengais nafkah, untuk hidup saja susah apalagi untuk menebus ‘bangku’ sekolah. Intinya orang miskin tidak berkesempatan untuk sekolah. Komitmen bangsa ini mengenai ‘pendidikan adalah hak setiap warga Negara’ tampaknya perlu kita pertanyakan.

Pendidikan bukan sebuah kesalahan, yang melakukan kesalahan adalah oknum-oknum orang terdidik yang mengkomersilkan pendidikan.

Dimana akar dari semua ini? Bagaimana pemecahannya? Entahlah, coba kita tanya lagi kepada diri kita sendiri, bisa jadi tanpa sadar ternyata kita termasuk salah satu yang mengkomersilkannya. Tidak ada pilihan lain, pemenuhan hak pendidikan secara merata untuk setiap golongan adalah wujud jalan keluar dari keruwetan masalah ini, bukan hanya orang kaya, tetapi juga orang miskin berhak mendapatkannya.  



*Insomnia lagi
Kayu Tangi, 17 Juni 2013, 3.16 WITA






Pendidikan Untuk Semua (Part. 1)

Masa grasa-grusu ketegangan Ujian Nasional telah berlalu, selebrasi kelulusan sekolah juga telah menjadi bagian dari kenangan, kini saatnya menyambut masa penerimaan siswa baru di berbagai jenjang pendidikan.
Beberapa saat lalu saya mendaftarkan adik saya di sebuah sekolah negeri. Saya baru tahu kalau ternyata sejak beberapa tahun terakhir berlaku pendaftaran menggunakan sistem online. Untuk bagian yang itu saya tidak terkejut, saya pikir wajar karena perkembangan teknologi masa kini. Tapi yang masih mengganjal dan membuat saya tidak habis pikir adalah dalam sistem pendaftaran online tersebut menggunakan sistem perangkingan nilai Ujian Nasional (UN).

Saya rasa kita semua tahu betapa amburadulnya pelaksanaan Ujian Nasional, terutama pada tahun ini. Kehadirannya yang selama ini berperan sebagai syarat kelulusan siswa dari berbagai tingkat pendidikan juga masih diperdebatkan keefektifannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan perangkingan nilai Ujian Nasional dapat menunjukan kemampuan siswa secara angka. Namun pada kenyataannya sudah sesuaikah kualitas kemampuan siswa yang sebenarnya dengan angka yang ditunjukkan dalam nilai UN yang didapatkannya? Apakah siswa yang mendapatkan nilai rata-rata UN 8  jauh lebih baik dari siswa yang mendapatkan angka 7? Apakah siswa yang mendapatkan nilai 8 akan jauh lebih sukses dari siswa yang hanya mendapatkan rata-rata 6? Apakah nilai UN yang didapatkan benar-benar murni kemampuannya atau ada pihak lain yang berperan?
Dengan sistem seleksi penerimaan siswa baru yang seperti ini akan membuat orangtua dan siswa tersugesti dengan penilaian kualitas dalam bentuk angka dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan peringkat setinggi-tingginya bahkan dengan cara yang tidak layak.  Seperti yang kita lihat di berita sehari-hari mengenai kecurangan-kecurangan dalam UN.

Tidak hanya sampai disitu, kemudian dengan sistem penerimaan siswa baru dengan perangkingan nilai UN maka berarti siswa-siswa yang memperoleh nilai UN tinggi akan berkumpul di suatu sekolah yang disebut-sebut dengan sekolah unggulan, siswa-siswa yang mendapatkan nilai UN sedang-sedang saja akan masuk di sekolah dengan kualitas menengah dan kemudian yang mendapatkan nilai ujian rendah akan berkumpul dengan sesamanya di sekolah yang  kemudian disebut dengan sekolah ‘buangan’.

Pemerataan pendidikan, inilah yang selalu menjadi pertanyaan saya kepada negeri ini. Bukankah dalam undang-undang disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara? Pendidikan bukan yang sekedarnya, melainkan pendidikan yang berkualitas bukan hanya milik setiap orang yang memiliki nilai UN tinggi, tapi milik semua warga negara.

Nilai UN tidak menjanjikan apa-apa, tidak dapat menjamin kualitas siswa secara keseluruhan. Kualitas siswa yang sebenarnya tidak ditunjukkan dari seberapa tinggi nilai UN yang didapatkannya, juga tidak dari sebagus apa tempatnya bersekolah, melainkan dari keseimbangan IQ (Intelectual Qoutient), EQ (Emotional Qoutient) dan SQ (Spiritual Qoutient) yaitu kesimbangan kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Bagaimana cara pembentukannya? Inilah PR bagi kita semua.

Hal-hal seperti ini yang selalu terasa miris dalam hati saya. Bertahun-tahun saya bersekolah dan sampai saat inipun saya kuliah di jurusan yang membuat saya melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Saya turut merasakan dan menyaksikan betapa bobroknya pendidikan di negeri ini.

Saya selalu berharap akan datang masa dimana pendidikan berlaku seperti yang seharusnya, merata untuk setiap warga negara, tanpa kecurangan, tanpa perbedaan. Mungkin itu hanya bagian sekelebat mimpi dari ribuan harap yang terpekik dalam dada, yang entah kapan akan menjadi nyata. Saya selalu berdoa, semoga.


*Insomnia lagi

Kayu Tangi, 15 Juni 2013, 1.55 WITA

Seperti Ini

Saya masih di tempat ini

Seperti ini menjalani hari seraya bermimpi

Andai saya tidak disini

Tentu takkan seberat ini menjalani

Memutar kaki yang tak mampu mengubah haluan lagi...




Kamar Kos, Minggu - 9 Juni 2013

Ini Hidupmu, Bukan yang Lain


Hari Sabtu lalu saya mewakili kedua orang tua saya menghadiri acara pengumuman, pengukuhan dan perpisahan adik saya di sebuah SMP Islami Terpadu di Banjarbaru. 

Lega memang, namun sebenarnya masa-masa setelah kelulusan adalah masa penggalauan, baik setelah lulus TK, SD, SMP maupun SMA. Namun biasanya yang terparah ketika berada pada masa-masa setelah lulus SMP yang bingung akan melanjukan ke SMA mana, setelah lulus SMA bingung akan kuliah memilih jurusan apa.

Seperti adik saya, Ayah saya menginginkan adik saya melanjutkan ke SMA Islami Terpadu atau ke Madrasah Aliyah, namun adik saya yang terampil dalam mengutak atik mesin dan sejenisnya menginginkan melanjutkan ke SMK Otomotif. Kasus yang adik saya alami jelas bukan satu-satunya, saya sering menemui kasus yang mirip bahkan sama. Lantas bagaimana?

Saya dapat memahami bahwa setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk menyekolahkannya di sekolah terbaik.  Nah, definisi sekolah yang terbaik untuk anak itu sendiri yang bagaimana? Apakah dengan memasukkannya ke sekolah favorit bagaimanapun caranya, apakah memasukkannya ke sekolah yang sesuai dengan keinginan orangtua  walaupun tidak sesuai dengan keinginannya, apakah memasukkannya ke sekolah yang memiliki jurusan yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan kelak atau justru measukkannya ke sekolah yang memang benar-benar sesuai dengan bidang keahlian dan keinginannya?

Saya jelas akan memilih definisi yang terakhir, sekolah yang terbaik untuk anak adalah sekolah yang memang benar-benar sesuai dengan bidang keahlian dan keinginannya. Sekalipun cinta akan datang karena terbiasa, belum tentu pepatah itu berlaku pada pendidikan juga. Saya adalah saksi hidup betapa berusaha mencintai jurusan yang bukan bidang saya adalah hal yang sulit, seperti berjalan dengan raga tapi tanpa nyawa.

Adalah kewajiban orang tua menjamin pendidikan anak, jangan sampai menuntut anak menuruti keinginan orangtua dengan alasan bakti. Jangan menghitung apapun jasa dan biaya yang sudah orangtua keluarkan untuk anak, jangan menuntut anak untuk membalas semuanya dengan menuruti keinginan orangtua, sungguh itu bukan perbuatan bijak. Segala yang sudah orangtua lakukan untuk anak biarlah menjadi urusan Tuhan, Dia Yang Maha Kaya yang akan membalasnya.

Coba renungkan, jika anak terus dituntut kewajibannya oleh orangtua, lalu dimana letak hak anak? Hak hidup, hak menentukan pilihan dan mempertanggungjawabkannya sendiri. Jika orangtua terus menuntut haknya dari anak, lalu bagaimana tanggungjawab kita sebagai orangtua? Masa iya seumur hidup anak harus berdiri dan berjalan di atas kaki kedua orangtuanya? Lalu kapan belajarnya? Kapan mandirinya? Kapan belajar tegas dan bertanggungjawab atas dirinya? Karena tidak selamanya orangtua hidup, maka berilah kesempatan untuk mereka, anak-anak kita untuk menjadi dirinya sendiri.

Ibarat sebuah toko, orangtua hanya sebagai pemberi modal, yang menentukan jenis usaha apa yang akan dilakukannya, bagaimana anak mendekorasi tempatnya dan bagaimana manajemen di dalamnya adalah tanggung jawabnya, sebagai orangtua hanya memantau dan mengarahkannya.

Dalam tulisan ini sedikitpun saya tidak bermaksud mengajak atau mempengaruhi anak-anak untuk membangkang kedua orangtuanya, tidak, sama sekali tidak. Saya adalah orang yang taat terhadap kedua orangtua, namun dari situ juga saya banyak belajar bagaimana harus bersikap, bertindak dan bertanggungjawab.

Justru disini saya mengajak agar orangtua dan anak agar lebih bijak dalam berkomunikasi, saling terbuka dan tidak saling memaksakan ketika memutuskan masa depan, terutama urusan pendidikan.

Ketika anak memilih untuk menuruti kemauan orangtua yang tidak sesuai dengan keinginannya dan kemudian dia gagal, maka pesan saya dalam kondisi tersebut orangtua jangan sampai sedikitpun memarahi atau menyalahkan anak atas kegagalannya, bukankah keputusan sudah dibuat bersama? Dan untuk anak, ketika memutuskan untuk menuruti keinginan orangtua yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka saat gagal jangan sekalipun menyalahkan orang lain atas kegagalan itu, adalah keputusannya sendiri tidak memperjuangkan keingian, kegagalannya bukan tangggungjawab orang lain, itu adalah tanggungjawab dirinya sendiri.

Pesan saya yang terakhir, untuk anak, ketika diberi kepercayaan oleh orangtua jangan sampai disalahgunakan, maka buktikan kamu memang berbakat, kamu memang pantas dan serius dengan sekolah atau jurusan pilihanmu, buktikan dengan prestasimu agar dapat lebih menumbuhkan keyakinan orangtua.

Tidak dipungkiri pendidikan adalah salah satu jalan yang ditempuh untuk mendapatkan pekerjaan, namun yang terpenting pendidikan adalah soal keahlian, ketika keahlian berada dalam genggaman, maka pekerjaan akan datang bertandang. Selebihnya dari semua itu adalah urusan Tuhan, setidaknya itulah yang selama 3 tahun saya pelajari semasa SMA dulu dalam mata pelajaran Kepemimpinan Islam.

 *** 


“Hidupku itu adalah aku. Bukan kamu dan ragumu, jangan sama-samakanku. Biar ku berlari pakai hati. Tak berhenti sampai mati, aku muda aku bisa” (Agnes Monica – Muda)
 

Ketika Aku Menyesali Telah kehilangannya (Mama Agus In Memoriam)


Rasanya seperti mimpi, hari itu baru sehari berselang sejak kepulanganku ke kampung halaman yang terakhir. Pukul 5, tidur soreku dikejutkan oleh sebuah SMS yang masuk ke handphone bututku hari itu, dari nomor jauh, tumben sekali Ulak2 Jakarta SMS saat-saat seperti ini.

“Innalillahi wa innailaihi rojiun, turut berduka cita atas meninggalnya mbah Ayu”

Astagfirullah, aku terduduk, badanku gemetar, aku masih mencoba mencerna kalimat yang baru saja kubaca, terus ku baca berulang-ulang tapi aku tidak tau harus berbuat apa.

“Mbah? Mbah yang mana? Mbah Lanang3 sehat kok, mbah yang mana lagi? Masa Mama Agus? Mama kan sudah sehat habis keluar dari rumah sakit?” Aku meracau sendiri sekalipun masih berusaha mengendalikan diri.

Aku menelpon Ibu tapi tidak ada jawaban, Ayah juga, Bibi juga, aku mulai kacau, sampai Angga, sepupuku mengangkat teleponku, aku mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

“Tadi ulak sms, katanya mbah meninggal? Mbah yang mana? Kok aku nggak dikasih kabar? Kok malah duluan yang di Jakarta tau?”

“Mama Agus pang4

“Ya Allah Mamaa, kenapa meninggal? Mama kan sudah sehat? Mamaa?”


Aku meraung lepas kendali, Angga mematikan teleponku. Tangisku makin menjadi tenggelam dalam kamar kostku, teman-teman kos ku terhenyak, beberapa diantaranya berusaha menenangkanku. Sama sekali tak tenang, pada saat terakhir aku tidak bisa melihat bahkan menemani beliau. Jarak antara kota Banjarmasin tempatku kuliah sekarang harus ditempuh dengan waktu 6-7 jam, lagi pula sudah pukul 5, aku harus cari taksi dimana? Adik laki-lakiku bagaimana di Banjarbaru? Apa sudah ada yang ngasih kabar?

Aku menelponnya “Bang, udah tau kalau Mama Agus meninggal?”

Yoga tergagap di ujung sambungan telepon “Jangan bercanda kamu!”

“Mbak serius bang”

 Telepon mati tutt tuuuttt tutttt

Sebuah pesan masuk dari Yoga.

“Mbak, kita pulangan yok?”

“Mana ada taksi jam segini? Kalau bisa pulang juga paling nggak sempat nemuin Mama juga”


Aku menunggu, tapi tidak ada balasan lagi.

Aku tau dia akan sangat terpukul, dia cucu kesayangan Mama.

***

5 hari sebelumnya, pada hari selasa Mama masuk rawat inap di Puskesmas terdekat karena susah makan dan tidur, dari dokter di diagnosis Mama mengidap penyakit jantung dan paru-paru.

Mama terlalu pendiam, beliau nyaris tidak pernah mengeluh sesakit apapun, sampai anak-anak beliau ingin membawa rawat inap di RSUD saja beliau menolak. Itulah mama, sosok tenang yang nyaris seperti tanpa masalah, didalamnya siapa yang sangka?

Pada hari Rabu aku pulang kampung dan menunggui beliau di tempat rawat inap sampai beliau diizinkan Dokter pulang pada hari Sabtu. Seenak-enaknya tinggal di rumah sakit, di kasih makan, nggak ngapa-ngapain tetap aja nggak betah, orang sehat pun terasa sakit pada saat-saat seperti ini.

Aku menyuapi beliau supaya mau makan, tapi beliau tidak bisa makan karena banyak sariawan. Aku mencarikan minyak kayu putih bergambar gajah favorite beliau, mengajak beliau bercanda, beliau berusaha tersenyum walau tampak lebih diam dari biasa, dan yang paling kuingat dan tidak pernah bisa lupa adalah ketika pertama kalinya aku menggantikan baju Mama pada hari terakhir Mama dirawat. Ya ini pertama kalinya seumur hidup setelah sekian lama di masa kecilku Mama menggantikan bajuku, bahkan sampai aku MTs. Karena kebandelanku aku harus pergi dari rumah orang tua dan harus tinggal di rumah Mama, beliau masih sesekali mencucikan bajuku.

Aku tidak pernah memikirkan kali itu akan jadi yang pertama dan yang terakhir aku menggantikan pakaian Mama. Ah, andai waktu boleh kuputar kembali, aku ingin menggantikan baju mama setiap hari, ratusan hari, selama-lamanya selama aku bisa, sungguh aku ingin waktu itu datang lagi, aku ingin menebus semua, aku ingin membahagiakan beliau lebih dari yang beliau dapatkan selama ini.

Sabtu mama keluar dari RS, aku banyak bersyukur, mama makan banyak hari itu, Mama makan Nasi Pundut5 hari itu, mama tampak sangat sehat, akupun lega, aku berpamitan karena Minggu siang aku harus kembali ke Banjarmasin. Saat melihat Mama perasaanku sama seperti terakhir kali melihat almarhumah Mbah Yut6 sebelum meninggal, seperti akan melihat yang terakhir kali. Tapi ku abaikan, aku masih ingin lagi, lagi dan terus lagi melihat beliau. Ku pikir, ah ini mungkin hanya perasaanku saja, walau pada akhirnya semuanya benar iya adanya.

Padahal sebelum kepulanganku, aku sempat menanyakan kabar Mama pada Bibi Agus untuk lebih meyakinkan diri untuk kembali ke Banjarmasin, karena bibi yang masih serumah dengan Mama dan Mbah lanang. “Mama gimana Bi? Udah baikan?”

“Iya, makannya banyak, udah nggak apa-apa kok?”

Aku lega, paling tidak aku bisa meninggalkan beliau kembali ke Banjarmasin dengan tenang.

Dan hari itu berlalu begitu saja tanpa prasangka apa-apa. Sampai kabar kepergian beliau kudengar keesokan harinya.

***

Tepat pada hari ke 100 meninggalnya beliau aku baru bisa pulang kampung menengok makam beliau. Dalam 100 hari itu juga beliau berkali-kali hadir dalam mimpiku, dengan wajah sendu, hanya diam tapi raut wajahnya seperti berbicara. Di mimpi yang lain nenek menunjuk sebuah pohon mawar yang aku tahu itu adalah bunga favorit beliau, masih tanpa bicara. Kata orang kalau keluarga yang sudah meninggal hadir di mimpi tapi tidak berbicara berarti mimpi itu benar, tapi kalau berbicara berarti datangnya dari Iblis, entahlah. Yang jelas aku melihat wujud beliau dengan sangat jelas di mimpiku waktu itu.

Bahkan sampai hari ini, saat aku mengenang beliau lewat tulisan ini, sudah melewati waktu nyaris 1 tahun 4 bulan, saat itu beliau meninggal pada bulan Februari 2012. Namun rasanya Mama masih ada sampai saat ini.

Aku masih sering menyebut rumah Mbah sebagai rumah ‘Mama Agus’, terkadang rasanya saat tidur di kamar tengah aku masih melihat Mama tidur meringkuk tanpa selimut seperti biasanya, saat hujan juga terkadang aku masih membayangkan Mama duduk termenung di kursi ruang tamu dengan diam, pagi-pagi juga aku masih terbayang Mama yang sudah siap dengan nasi gorengnya di dapur, melihat mama bersandar sambil melipat tangan ke belakang, melihat Mama mengurut bayi-bayi tetangga dengan penuh kasih sayang, aku masih merasakan hangatnya ketika Mama meletakkan selimut di atas tubuhku ketika aku tertidur, aku juga sangat ingat bagaimana bencinya Mama ketika kami cucu-cucunya dimarahi atau dipukuli orangtua kami, Mama juga tidak pernah mau bicara lama ditelpon denganku, hanya beberapa detik saja, karena setiap bicara ditelpon denganku suara Mama selaulu bergetar seperti akan menangis, selalu bergetar hati ini ketika mengenang suara lembut Mama menasehati kami, memanggil kami, ketika sedih, senang, marah nada bicara Mama selalu sama lembutnya, semuanya masih terasa hangat dalam ingatan, semuanya tak satupun aku melewatkannya.

Bukan hanya dengan keluarga, dengan anak orang lain pun beliau sangat lembut dan penyayang. Sungguh beliau adalah wanita yang sangat luar biasa.

Wanita paling lembut dunia, iya, cuma Mama. Ibuku, aku, semua cucu dan anak-anak beliau belajar dari beliau. Mama bukan hanya berkesan mendalam bagi kami keluarga besar, namun juga bagi tetangga, semua orang menangisi beliau ketika beliau meninggal.

Kata Ibu, waktu pemakaman Mama, banyaak sekali tamu yang hadir melayat dan mengantarkan Mama ke peristirahatan terakhir beliau. Hal itu cukup menandakan betapa Mama disayangi semua orang. Bahkan pada acara haul Mama yang pertama, selain kami keluarga yang ditinggalkan, tetangga yang datang pun masih banyak yang meneteskan air mata karena mengenang beliau.

Anganku tak pernah habis tentang Mama, aku menyimpan salah satu sweater kesayangan Mama, ketika rindu, memakai sweater itu rasanya hangat sekali, seperti memeluk Mama erat ketika akan tidur dan aku takut mendengar bunyi suara burung hantu dulu.

Sungguh setelah kematian Mama, sesalku tidak pernah habis akannya. Setiap berada di pasar, dimanapun aku bertandang aku selalu terkenang Mama. Rasanya ingin membelikan jilbab, baju, makanan yang enak-enak, semuanya yang bisa aku belikan untuk Mama, aku ingin mengajak Mama ke semua tempat yang menyenangkan, ke Jakarta, Bandung, Mekkah, semua tempat yang mungkin kujelajahi, sebagai wujud kasih sayangku untuknya, sebagai wujud betapa bersyukurnya aku karena memiliki beliau, yang sayangnya semua itu tidak pernah kulakukan selama Mama hidup. Satu kalipun aku tidak pernah membelikan dan memberikan Mama apapun, bahkan waktuku untuk beliau pun tidak dapat selalu terpenuhi. Andai mungkin, aku ingin kembali ke masa itu, dan kulakukan semua yang mungkin kulakukan untuk Mama.

Sekarang, tiap kali pulang kampung, aku hanya dapat menemui nisan Mama, bercerita banyak di atasnya, membacakan doa berharap doa-doaku dapat menemaninya dialam sana. Semoga Mama selalu diberi kelapangan dan cahaya terang dikubur beliau. Semoga Mama selalu disayang Allah seperti Mama menyayangi kami selama ini.

***

Waktu manusia siapa yang tahu? Andai maut itu ada baunya, paling tidak kita bisa mempersiapkan diri untuk kehilangan atau membuat orang lain kehilangan. Tapi disitulah letak hikmahnya, bukannya lebih bagus dengan ketidaktahuan begini? Sebab seharusnya kita bisa menghargai setiap waktu dan kesempatan yang hadir untuk bersama orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang kita ingin hidup bersamanya. Namun justru sering kali ketidaktahuan inilah yang pada akhirnya menjauhkan karena merasa memiliki banyak waktu lain yang tersisa, walaupun sebenarnya tidak demikian. Kemudian kita bisa menjadikan kesibukan tetek bengek kehidupan lain yang sebenarnya bisa di kesampingkan untuk sekedar menemani Mama belanja, menemani Ayah berkebun, menemani kakek nonton bola, berdiskusi dengan kakak, membantu adik mengerjakan PR, menemani nenek memasak, dll.

Siapa tahu minggu depan, besok hari bahkan satu jam lagi kita tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya? Mungkin kita yang akan lebih dulu menyelesaikan permainan hidup ini, mungkin juga justru kita yang akan meratapi orang-orang yang kita cintai mengakhirinya terlebih dahulu, siapa yang tahu?

Lalu sekarang tunggu apalagi? Bila ada handphone di sebelahmu yang lebih sering kamu pakai twitteran dari pada menelpon menanyakan kabar rumah, ambil sekarang teleponlah ayahmu, ibu atau siapapun yang mencintaimu dalam diam, tanpa kata yang disampaikannya dengan sengaja. Siapa tahu mereka sedang sakit, sedang bersedih, menghadapi masalah yang tidak terperi tapi tidak mengatakannya kepadamu. Bukan bermaksud membuatmu tak berarti, bukan berarti mereka tak sayang, tapi mereka membayangkan betapa sibuknya kamu mengerjakan tugas-tugas dan berjuang untuk hidup dan mereka tidak ingin mengganggu bahkan membebanimu dengan cerita-cerita mereka, walaupun keadaan sebenarnya kita lebih banyak jalan-jalannya dan tertawa-tawa berlagak sok kaya dan berhura-hura.

“Kau takkan pernah tau apa yang kau miliki sampai nanti kau kehilangan” (Percayakan Padaku - Sheila On 7)


 

***

Keterangan :
Mama Agus1         :    Panggilan sayang dari cucu-cucu untuk nenek dari keluarga Ibu
Ulak2                   :     Panggilan untuk Kakak dari Ayah dalam bahasa Banjar
Mbah Lanang3     :    Panggilan untuk Kakek dari keluarga Ibu dalam bahasa Jawa
Pang4                   :    Imbuhan pada akhir kalimat dalam bahasa banjar, seperti ‘deh’ dalam bahasa Indonesia
Nasi Pundut5       :    Makanan Banjar berbentuk nasi yang dibungkus dalam daun dan dimasak dengan santan
Mbah Yut6              :    Nenek buyut, Ibu dari Nenek keluarga Ibu, dalam Bahasa Jawa


Sepotong Puzzle yang Kutemukan (Kembali)

Hari itu setelah midtest Persamaan Differensial, mata kuliah yang membuat aku mengoleksi nilai E untuk pertama kali selama hidup tahun lalu dan aku harus mengulangnya pada semester ini dengan dosen yang sama.

Frustasi luar biasa karena tidak bisa menjawab dengan baik, semua jawaban yang kutulis di lembar jawaban meragukan. Keluar dari Bengkel Matematika, tempat ujian, aku segera menggeledah tasku berusaha menemukan androidku dan segera menelpon Ibuku. Selama ujian ada 13 kali telpon dari Ibu, Bibi dan Adik karena ada masalah keluarga mendadak, salah satu alasan kehilangan konsentrasi. Juju menutup kaca helmku karena aku menangis di parkiran belakang kampus PMIPA.

Memang, hari itu luar biasa stress makanya kami memutuskan untuk karaokean ke tempat karaoke langgananku di Kayu Tangi Ujung, namun ruangan yang small penuh dan harus menunggu lama. Kami memutar haluan ke TSar café langgananku di sekitaran Jl. Adenansi, aku lupa karena hari itu hari Jum’at maka café baru buka pukul 5 sore, sementara jam baru menujukkan pukul 4.30, akhirnya dengan sangat nekad dengan mengabaikan tarif weekend yang yakin akan lebih dari biasa, kami langsung menuju Nav Karaoke Keluarga Jl. A. Yani. Km. 2,4.

Aku sedang mengutak atik androidku seperti biasa, setiap saat setiap ada waktu, hari itu di kursi tunggu Nav, karena ruangan juga penuh dan kami harus menunggu 10 menit. Tempat karaoke ini adalah tempat langganan sahabatku, Juju dan teman-temannya, aku sendiri jarang ke tempat ini, karena lokasinya yang agak jauh dari kost.

Aku memperhatikan orang-orang berseragam orange yang lalu lalang di hadapanku, mataku liar berharap menemukan sesosok pria dari masa lalu yang barang kali hari itu berada diantaranya. Bukan tanpa alasan, beberapa bulan lalu mendadak aku mendapat titipan salam dari dua teman seangkatanku di Pendidikan Matematika, Mitra dan Atul. Kala itu aku mendapatkan sebuah mentions dari Mitra, katanya aku dapat salam dari Adi, salah satu karyawan disana. Usut punya usut ternyata benar, Adi Surya, potongan masa lalu, rekor terlama hubunganku, nyaris 2 tahun berlalu. Mitra memberikan nomor hapenya, namun aku tidak berhasil menghubunginya, terakhir kuketahui nomornya sudah tidak aktif.

Lamunanku dikejutkan oleh sesosok pria tidak terlalu tinggi, putih, mengenakan baju bola warna merah, aku tidak terlalu memperhatikan tim apa, mungkin Arsenal tim favoritnya, melalui pintu masuk dan kemudian menyapa beberapa pria yang juga duduk menunggu beberapa langkah di hadapanku. Aku tergagap, badanku bergetar, aku memukuli Juju yang duduk di sebelahku, aku berusaha meyakinkan diri apa yang kulihat ini benar atau aku hanya terlalu banyak berhalusinasi, sampai beberapa temannya meneriakkan namanya dan kemudian aku tahu, aku tidak sedang bermimpi. Ya, semesta menginginkan akhirnya aku bertemu lagi dengannya hari itu, Adi.

Aku memandangi gelagatnya dengan teman-temannya, suasana hatiku begitu kacau, dia melihat ke arahku dengan ragu berkali-kali, dia lalu lalang dihadapanku namun tidak berusaha menyapaku, bodohnya aku hanya bisa terdiam, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.

Aku meneriakkan namanya, melangkah ke arahnya, menyalaminya, tersenyum dengan penuh kemenangan dan menunjukkan kepadanya betapa sekarang aku sangat baik-baik saja.  Namun itu hanya khayalanku saja, pada kenyataannya aku masih duduk di sofa putih ini, di sebelah Juju dan tergugu menyaksikan sepotong puzzle masa lalu yang berdebu nampak utuh lagi di hadapanku.

Adi adalah seseorang yang sangat kucintai, kujaga hatinya, iya tapi itu dulu dan sudah berakhir sejak September 2010 lalu, di usia hubungan ke 1,5 tahun, rekor terlamaku dalam menjalin hubungan. Dia salah satu yang teristimewa, dia pria baik, terlalu banyak yang dia berikan dan dia korbankan untukku, sampai akhirnya dia lelah dan memilih berproses di belakangku dengan yang lain. Pada masa itu aku masih terlalu anak-anak, aku bukan pasangan yang baik, J

Aku larut lagi dalam lamunanku, sampai mendapat panggilan karena ruangan kami sudah siap, kemudian aku naik ke lantai dua dengan Juju dengan diantar seorang  petugas.

“Boleh tanya nggak?” tanyaku.
“Iya silakan”
“Adi itu sudah lama kerja disini?”
“Malah udah nggak kerja disini lagi Mbak, baru aja kok berentinya”
“Oh, kirain masih”

Ternyata hari ini dia datang sebagai tamu, sudah bukan sebagai karyawan lagi. Pantas saja beberapa kali belakangan aku kesini dan aku tidak berhasil menemukannya. Hatiku sama sekali tidak puas karena tidak berhasil menyapanya dan aku tidak yakin setelah ini aku akan bertemu denganya lagi, bodohnya aku melewatkan kesempatan itu.

Aku meluapkan segala sesak, gundah hatiku dengan menyanyi semua lagu yang mengingatkan dengannya, Juju hanya menikmati teriakan demi teriakanku dalam setiap lagu, selama dua jam. Dia tahu perasaanku.

Aku mencoba dan berhasil menghubungi kak Dayat lewat facebook, salah satu teman dekat kak Adi yang ku kenal saat masih pacaran dulu. Sebenarnya setahun lalu aku dan Adi sempat mencoba berhubungan baik lewat facebook, namun kekasihku yang baru menghapusnya dari pertemanan, sampai kemudian sama sekali lost contact dengan Adi.  

Keesokan harinya aku sudah mendapatkan nomor Adi dari kak Dayat, thanks so much for that!

Aku menghubunginya, dia membalas pesanku, kami bicara banyak, dari kabar, kuliah, pekerjaan, peristiwa di karaoke itu, saling meminta maaf, kecuali satu hal, pasangan, entah apa dia masih dengan wanita yang merebutnya dariku itu atau tidak, sementara aku walapun masih sendiri namun hatiku telah terikat dengan jiwa yang lain :)

Di salah satu pesan aku meminta satu kali pertemuan lagi, entah untuk apa, akupun tidak mengerti maunya hati ini. Aku hanya ingin bertemu, menanyakan semua yang ingin kutanyakan, mengetahui semua kabarnya, itu saja, selama nyaris dua tahun ini tanpa kabar yang jelas.

Ini kutipan beberapa percakapan:

Adi    :     “Hehehehe . . . Alhamdulillah bisa ketemu lagi . . “
Aku   :     “handak lagi, sekaliii ja lagi ;p”
Adi    :     “Hehehehe . . . InsyaAllah pasti ketemu lagi nanti . . Ulun belum siap mental”
Aku   :     “hahaa pian ni lucu, handak ketemu ulun ja kayak handak UN pakai kada siap mental segala, lagian udah hanmpir 2 tahun lewat :p “


Hanya itu saja, setelah itu tidak ada pesan-pesan di hari selanjutnya. Apa aku tampak baik-baik saja? Haha, bukan hanya tampak, tapi aku benar baik-baik saja, aku menyayanginya sungguh tapi itu dulu. Melihatnya lagi sekarang aku senang, dia tampak baik-baik saja, badannya agak gemukan, juga lebih putih dari dulu, dia tampak ceria, Alhamdulillah.

Sekarang aku dan dia sudah berada di jalan masing-masing, berbahagia dengan apa yang dimiliki. Dia banyak berperan dalam hidupku, aku selalu berdoa semoga Allah memberikannya hidup dan pasangan yang terbaikku, untuknya juga  dan semoga Allah selalu menjaga kita. :)