Keadaan bangsa ini semakin hari
semakin menyedihkan. Berbagai elemennya penuh dengan kebobrokan, dalam bidang
ekonomi, keamanan, kesehatan, hukum, termasuk juga pendidikan. Pendidikan selalu
menjadi topik hangat yang jika diperbincangkan tidak akan pernah ada habisnya. Ya,
pendidikan negeri ini perlu banyak bermuhasabah diri.
Lagi-lagi saya akan memulainya dengan
sebuah cerita pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya ditanyai oleh salah seorang
Ibu kenalan saya, mengenai biaya masuk salah satu perguruan tinggi negeri di
Banjarmasin tempat saya mengenyam pendidikan sekarang. Ketika saya mengatakan
nominalnya beliau terkejut dan mempertimbangkan kembali apakah akan memasukkan
anak beliau ke kampus saya atau tidak. Singkatnya, Ibu tersebut tidak jadi
memasukkan anak beliau ke kampus saya dan memilih alternatif lain karena tidak
memiliki biaya. Padahal saya tahu kemampuan anak Ibu tersebut sangat baik
sepanjang masa sekolahnya.
Bukan rahasia, di negeri ini untuk mengecap
pendidikan yang berkualitas kita harus merogoh kocek yang lebih banyak. Pendidikan
yang berkualitas hanya akan dikecap oleh kalangan berduit, yang memiliki
kemampuan secara finansial lebih diprioritaskan karena dianggap dapat memberikan
keuntungan. Yang tidak mampu membayar lebih hanya akan mendapatkan pendidikan ‘pinggiran’
bahkan tidak dapat mengenyam sama sekali. Menakjubkan karena pendidikan masa
kini lebih mirip dengan pasar.
Mungkin akan sedikit termaafkan jika
dengan sejumlah nominal yang disetorkan sesuai dengan kualitas yang disajikan,
pada kenyataannya kemana larinya recehan-recehan tersebut selalu menjadi
pertanyaan. Pendidikan tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
namun justru menciptakan generasi-generasi ‘instan’ yang kurang berpengalaman,
berakal culas dan berkepribadian rapuh. Sehingga bangsa ini dikelilingi oleh
orang-orang malas yang ingin hidup berkelas tanpa harus bekerja keras yang
menjadikan Negara ini surga buminya korupsi tanpa bisa diberantas.
Tanpa data statistik pun kita dapat
melihat dalam dunia nyata bahwa tidak semua warga Negara di Indonesia ini
mengenyam pendidikan seperti yang seharusnya. Yang kaya yang berjaya, yang
miskin menderita, bersengat matahari mengais nafkah, untuk hidup saja susah
apalagi untuk menebus ‘bangku’ sekolah. Intinya orang miskin tidak
berkesempatan untuk sekolah. Komitmen bangsa ini mengenai ‘pendidikan adalah
hak setiap warga Negara’ tampaknya perlu kita pertanyakan.
Pendidikan bukan sebuah kesalahan,
yang melakukan kesalahan adalah oknum-oknum orang terdidik yang mengkomersilkan
pendidikan.
Dimana akar dari semua ini? Bagaimana
pemecahannya? Entahlah, coba kita tanya lagi kepada diri kita sendiri, bisa
jadi tanpa sadar ternyata kita termasuk salah satu yang mengkomersilkannya. Tidak
ada pilihan lain, pemenuhan hak pendidikan secara merata untuk setiap golongan adalah
wujud jalan keluar dari keruwetan masalah ini, bukan hanya orang kaya, tetapi juga
orang miskin berhak mendapatkannya.
*Insomnia lagi
Kayu Tangi, 17 Juni 2013, 3.16 WITA
4 komentar:
mantaap naah.. :)
masuk metro banjar tulisan ikam yu..
haha.. :D
Hehe iya, ini tulisan yang ke 3 yang masuk dalam bulan ini, yang pertama masuk bulan Februari semalam :))
Solusinya mungkin perubahan itu dimulai dari yang paling kecil, dari diri kita sendiri :))
Keren nih penulis handal..
Wiiiiih \^0^/
Yup, betul, dimulai dari diri sendiri tentunya, :)
Aamiin, terimakasih sudah berkunjung, :))
Posting Komentar