Pendidikan Untuk Semua (Part. 1)

Masa grasa-grusu ketegangan Ujian Nasional telah berlalu, selebrasi kelulusan sekolah juga telah menjadi bagian dari kenangan, kini saatnya menyambut masa penerimaan siswa baru di berbagai jenjang pendidikan.
Beberapa saat lalu saya mendaftarkan adik saya di sebuah sekolah negeri. Saya baru tahu kalau ternyata sejak beberapa tahun terakhir berlaku pendaftaran menggunakan sistem online. Untuk bagian yang itu saya tidak terkejut, saya pikir wajar karena perkembangan teknologi masa kini. Tapi yang masih mengganjal dan membuat saya tidak habis pikir adalah dalam sistem pendaftaran online tersebut menggunakan sistem perangkingan nilai Ujian Nasional (UN).

Saya rasa kita semua tahu betapa amburadulnya pelaksanaan Ujian Nasional, terutama pada tahun ini. Kehadirannya yang selama ini berperan sebagai syarat kelulusan siswa dari berbagai tingkat pendidikan juga masih diperdebatkan keefektifannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan perangkingan nilai Ujian Nasional dapat menunjukan kemampuan siswa secara angka. Namun pada kenyataannya sudah sesuaikah kualitas kemampuan siswa yang sebenarnya dengan angka yang ditunjukkan dalam nilai UN yang didapatkannya? Apakah siswa yang mendapatkan nilai rata-rata UN 8  jauh lebih baik dari siswa yang mendapatkan angka 7? Apakah siswa yang mendapatkan nilai 8 akan jauh lebih sukses dari siswa yang hanya mendapatkan rata-rata 6? Apakah nilai UN yang didapatkan benar-benar murni kemampuannya atau ada pihak lain yang berperan?
Dengan sistem seleksi penerimaan siswa baru yang seperti ini akan membuat orangtua dan siswa tersugesti dengan penilaian kualitas dalam bentuk angka dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan peringkat setinggi-tingginya bahkan dengan cara yang tidak layak.  Seperti yang kita lihat di berita sehari-hari mengenai kecurangan-kecurangan dalam UN.

Tidak hanya sampai disitu, kemudian dengan sistem penerimaan siswa baru dengan perangkingan nilai UN maka berarti siswa-siswa yang memperoleh nilai UN tinggi akan berkumpul di suatu sekolah yang disebut-sebut dengan sekolah unggulan, siswa-siswa yang mendapatkan nilai UN sedang-sedang saja akan masuk di sekolah dengan kualitas menengah dan kemudian yang mendapatkan nilai ujian rendah akan berkumpul dengan sesamanya di sekolah yang  kemudian disebut dengan sekolah ‘buangan’.

Pemerataan pendidikan, inilah yang selalu menjadi pertanyaan saya kepada negeri ini. Bukankah dalam undang-undang disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara? Pendidikan bukan yang sekedarnya, melainkan pendidikan yang berkualitas bukan hanya milik setiap orang yang memiliki nilai UN tinggi, tapi milik semua warga negara.

Nilai UN tidak menjanjikan apa-apa, tidak dapat menjamin kualitas siswa secara keseluruhan. Kualitas siswa yang sebenarnya tidak ditunjukkan dari seberapa tinggi nilai UN yang didapatkannya, juga tidak dari sebagus apa tempatnya bersekolah, melainkan dari keseimbangan IQ (Intelectual Qoutient), EQ (Emotional Qoutient) dan SQ (Spiritual Qoutient) yaitu kesimbangan kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Bagaimana cara pembentukannya? Inilah PR bagi kita semua.

Hal-hal seperti ini yang selalu terasa miris dalam hati saya. Bertahun-tahun saya bersekolah dan sampai saat inipun saya kuliah di jurusan yang membuat saya melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Saya turut merasakan dan menyaksikan betapa bobroknya pendidikan di negeri ini.

Saya selalu berharap akan datang masa dimana pendidikan berlaku seperti yang seharusnya, merata untuk setiap warga negara, tanpa kecurangan, tanpa perbedaan. Mungkin itu hanya bagian sekelebat mimpi dari ribuan harap yang terpekik dalam dada, yang entah kapan akan menjadi nyata. Saya selalu berdoa, semoga.


*Insomnia lagi

Kayu Tangi, 15 Juni 2013, 1.55 WITA

0 komentar:

Posting Komentar