Masa grasa-grusu ketegangan Ujian
Nasional telah berlalu, selebrasi kelulusan sekolah juga telah menjadi bagian
dari kenangan, kini saatnya menyambut masa penerimaan siswa baru di berbagai
jenjang pendidikan.
Beberapa saat lalu saya mendaftarkan
adik saya di sebuah sekolah negeri. Saya baru tahu kalau ternyata sejak
beberapa tahun terakhir berlaku pendaftaran menggunakan sistem online. Untuk bagian
yang itu saya tidak terkejut, saya pikir wajar karena perkembangan teknologi
masa kini. Tapi yang masih mengganjal dan membuat saya tidak habis pikir adalah
dalam sistem pendaftaran online tersebut menggunakan sistem perangkingan nilai
Ujian Nasional (UN).
Saya rasa kita semua tahu betapa
amburadulnya pelaksanaan Ujian Nasional, terutama pada tahun ini. Kehadirannya yang
selama ini berperan sebagai syarat kelulusan siswa dari berbagai tingkat
pendidikan juga masih diperdebatkan keefektifannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
perangkingan nilai Ujian Nasional dapat menunjukan kemampuan siswa secara
angka. Namun pada kenyataannya sudah sesuaikah kualitas kemampuan siswa yang
sebenarnya dengan angka yang ditunjukkan dalam nilai UN yang didapatkannya? Apakah
siswa yang mendapatkan nilai rata-rata UN 8 jauh lebih baik dari siswa yang mendapatkan
angka 7? Apakah siswa yang mendapatkan nilai 8 akan jauh lebih sukses dari
siswa yang hanya mendapatkan rata-rata 6? Apakah nilai UN yang didapatkan
benar-benar murni kemampuannya atau ada pihak lain yang berperan?
Dengan sistem seleksi penerimaan
siswa baru yang seperti ini akan membuat orangtua dan siswa tersugesti dengan
penilaian kualitas dalam bentuk angka dan akan melakukan apa saja untuk
mendapatkan peringkat setinggi-tingginya bahkan dengan cara yang tidak layak. Seperti yang kita lihat di berita sehari-hari
mengenai kecurangan-kecurangan dalam UN.
Tidak hanya sampai disitu, kemudian
dengan sistem penerimaan siswa baru dengan perangkingan nilai UN maka berarti siswa-siswa
yang memperoleh nilai UN tinggi akan berkumpul di suatu sekolah yang disebut-sebut
dengan sekolah unggulan, siswa-siswa yang mendapatkan nilai UN sedang-sedang
saja akan masuk di sekolah dengan kualitas menengah dan kemudian yang
mendapatkan nilai ujian rendah akan berkumpul dengan sesamanya di sekolah yang kemudian disebut dengan sekolah ‘buangan’.
Pemerataan pendidikan, inilah yang
selalu menjadi pertanyaan saya kepada negeri ini. Bukankah dalam undang-undang
disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara? Pendidikan bukan
yang sekedarnya, melainkan pendidikan yang berkualitas bukan hanya milik setiap
orang yang memiliki nilai UN tinggi, tapi milik semua warga negara.
Nilai UN tidak menjanjikan apa-apa,
tidak dapat menjamin kualitas siswa secara keseluruhan. Kualitas siswa yang
sebenarnya tidak ditunjukkan dari seberapa tinggi nilai UN yang didapatkannya, juga
tidak dari sebagus apa tempatnya bersekolah, melainkan dari keseimbangan IQ (Intelectual Qoutient), EQ (Emotional Qoutient) dan SQ (Spiritual Qoutient) yaitu kesimbangan
kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Bagaimana cara pembentukannya? Inilah
PR bagi kita semua.
Hal-hal seperti ini yang selalu terasa
miris dalam hati saya. Bertahun-tahun saya bersekolah dan sampai saat inipun
saya kuliah di jurusan yang membuat saya melibatkan diri dalam dunia pendidikan.
Saya turut merasakan dan menyaksikan betapa bobroknya pendidikan di negeri ini.
Saya selalu berharap akan datang masa
dimana pendidikan berlaku seperti yang seharusnya, merata untuk setiap warga negara,
tanpa kecurangan, tanpa perbedaan. Mungkin itu hanya bagian sekelebat mimpi
dari ribuan harap yang terpekik dalam dada, yang entah kapan akan menjadi
nyata. Saya selalu berdoa, semoga.
*Insomnia lagi
Kayu Tangi, 15 Juni 2013, 1.55 WITA
0 komentar:
Posting Komentar