Dia menyebut dirinya “LUCKY”, hampir
setiap saat dia mengutarakan betapa beruntungnya dia mengenalku, padahal
sebenarnya akulah yang paling bersyukur dengan kehadirannya di hidupku.
Dia bukan teman, juga bukan sahabat,
apalagi menyandang embel-embel pacar, tapi dia lebih dari itu. Dia bukan angka
1, dia bukan yang utama di hidupku tapi dia adalah angka 0 (nol) pada penyebut
bilangan pecahan yang menjadikan maknanya tak dapat didefinisikan.
Dia memang 0 (nol) yang seperti bukan
apa-apa, bukan siapa-siapaku, tapi tak banyak yang tahu bahwa artinya jauh
melebihi angka 1. Kami seperti asimtot, garis yang saling mendekati dengan
suatu garis lain dalam batas tak hingga dan membentuk kurva tanpa pernah bisa
menyentuh hingga saling berpotongan.
Dia kesayanganku, dia selalu ada untukku
bahkan saat seluruh dunia menjauhiku, dia menganggapku ada sekalipun dunia
tidak pernah mencatat jejakku, dia merelakan seluruh detik yang dimilikinya
hanya untuk membuat aku mengakui kebahagiaanku.
Aku menyayanginya, sungguh, tidak ada
keraguan untuk itu. Jika kalian bertanya seberapa besar kadarnya maka jelas aku
akan menjawabnya dengan tidak tahu.
Tidak bermaksud memilikinya bukan
berarti aku tidak pernah menginginkannya, aku pernah sangat ingin memilikinya
ada di sisiku dengan segala keistimewaan dunianya yang dia anggap biasa saja.
Aku cukup tahu diri untuk itu, dalam usia sekarang bagiku hubungan bukan hanya
sarana hanya untuk sekedar bersenang-senang, tapi bagaimana kehadiran
masing-masing bisa memberikan ruang untuk saling tumbuh jadi lebih baik.
Dia mampu melakukan keduanya,
membuatku bersenang-senang dan mendampingiku tumbuh jadi lebih baik, dia
penyelamat di saat hidupku benar-benar nyaris kehilangan harapan, makanya aku selalu
bilang tidak ingin dia hilang.
Sementara aku? Menguras nyaris
seluruh waktunya untuk mengirimkan seluruh kata-kata yang mampu membuatku
berbahagia sebagai pengganti mata yang tak dapat melihat rupa dan peluk yang
tak terjamah. Aku bukan siapa-siapanya, membuatnya seperti demikian bukan cinta
namanya, tapi membunuhnya secara perlahan.
Aku menyayanginya, aku peduli, aku
sering cerewet ini itu, aku bercerita panjang lebar tentang hidupku yang
membosankan, yang menurutku tidak penting sebenarnya. Tapi dia selalu
meyakinkan bahwa apa yang kukatakan adalah hal yang menyenangkan dan menarik
untuk disimak. Entah berapa gunungan bosan yang sudah dia timbun hanya karena
mendengarkan segala celotehan tentang hidupku. Betapa menyusahkannya aku ada di
hidupnya.
Aku hanya sekali bertemu dengannya,
aku tidak pernah benar-benar menyentuhnya, tapi memimpikan peluknya hampir
setiap saat aku melakukannya. Aku sering menahan diri untuk tidak terlalu
mencampuri urusan hidupnya, berusaha untuk tidak peduli, namun setiap detik aku
berjarak dengannya, aku sampai mengeratkan bantal di dadaku menahan sesak rindu
dan ketakutan akan ketiadaannya.
Aku melihatnya begitu terang, dengan
berada di sekitarnya aku berbahagia karena pantulan cahayanya. Aku tidak ingin
meredupkannya, jika menyaksikan hatiku sendiri terbunuh dapat memberikannya
ruang lebih banyak untuknya agar dapat terus bercahaya lebih dari ini, aku akan
melakukannya sekalipun itu bukan di duniaku.
Dia pernah berkata “Semoga kita bisa
bahagia tanpa harus menyakiti orang lain”. Jika dalam perjalanan ini hanya aku
yang harus berbahagia dan dia kelelahan karenanya, apalah artinya? Aku sendiri
mampu berbahagia jika dengan ketanpaanku dia jauh bisa lebih berbahagia, tidak
bekerja keras memaksa dirinya untuk terus bersusah payah membahagiakan aku yang
bukan siapa-siapanya. Aku menjaganya, aku peduli pada setiap apa yang terjadi
padanya sekalipun dia tidak pernah benar-benar mengatakannya, jika demi
membuatku nyaman dia harus melukai dirinya sendiri, aku tidak akan rela, jika
ada yang harus dihukum maka akulah yang seharusnya.
Akan ada saatnya aku berhenti terlalu
memanjakan hatiku dengan keberadaannya, aku harus membebaskannya, bukan
bermaksud menjauhinya. Dia harus bahagia, apapun caranya, sekalipun bukan aku
penyebabnya, sebagaimana yang selalu kumohonkan kepada Tuhan agar membahagiakan
dia sebagaimana dia membahagiakan dan berbuat baik kepadaku.
Aku menyayanginya, sungguh,
berkali-kali aku mengatakan itu, bisa jadi dia mengiyakan tapi mempercayai
perkataanku bisakah dia? Entahlah…
Aku selalu percaya bahwa,
Cinta dan memiliki merupakan perkongsian sebab akibat yang tidak selalu padu dalam sebuah kalimat.
Terkadang menyerah bukan berarti
berhenti mencintai, tapi memberikan ruang kepada orang yang kita cinta untuk
mengenal dan menemukan orang yang jauh lebih baik selain kita.
Halah, aku naif…
Aku berharap suatu saat waktu yang
kutakutkan tiba, saat aku lebih memilih menjadi penonton kebahagiaannya
ketimbang terlibat di dalamnya, ketika akan bertidak bodoh dia akan selalu
mengingat bahwa ada seseorang yang akan sangat panik mengkhawatirkannya.
Aku menyayanginya, sungguh… Tapi ada
orang lain yang jauh lebih pandai menyentuh hatinya, memberi nyawa dalam setiap
tulisannya seperti yang selalu kuinginkan tapi tak mampu kulakukan, membuatnya lebih
sadar untuk jadi lebih baik tanpa harus kebanyakan mencerewetinya, tanpa harus
banyak bicara membuat panas mata dan telinganya seperti yang aku lakukan
kepadanya.
Andai suatu hari nanti dia
mendapatkan seseorang yang dia inginkan untuk berada di sisinya, akulah orang
pertama yang paling bersyukur dan berbahagia. Ya, dia harus bahagia, sebesar
kebahagiaan yang dia sumbangkan suka rela untuk membunuh kedukaanku. Di hidupku
yang berantakan ini, dia salah satu pertolongan terindah yang dikirimkan Tuhan
kepadaku.
Kamu, aku tidak ingin kamu meredup karenaku.
Terimakasih cinta…
0 komentar:
Posting Komentar