Aku yakin tanpa perlu kuterangkan lagi kamu
telah sangat memahami mengapa aku bersikap begini dan mengapa begitu. Walau tak
jarang jalan pikiranku tak sama dengan imajinasimu dan membuat habis pikirmu.
Sebagaimana hari itu, kacau sekali pikiran
ini mendebat hati agar tak sampai lancang merusak pertemuanmu. Sampai-sampai
mau meledak rasanya hatiku menguasai diriku sendiri.
Tahukah
kamu? Sebagaimana cinta, benci pun sulit dipaksa hilangnya. Sekuat hatiku
menahan tak membenci bagian duniamu.
Aku tersulut.
Ya, tentu saja aku tersulut.
Aku pemilikmu, aku yang menjagamu, pemilik
mana yang tidak marah kau dijamah oleh tangan-tangan tak bertata tanpa sungkan
dan rasa bersalah?
Bagaimana mungkin aku tidak tersulut? Aku
yang pemilikmu saja sekuatku tidak sembarangan mengomelimu, dan bibir orang
lain sekehendak memuntahkan kata-kata yang menguji sabarmu, berhari-hari.
Aku yang memilikimu, tak mau sesuka hati
menuntutmu ini itu, dan manusia lain yang bertatap pun belum pernah cerewet
sekali bertingkah ini itu.
Aku, yang memilikimu, dikata-katai oleh
orang yang tak mengenalku. Bisakah terima hatiku?
Lemas lutut rasanya membendung air mata
yang siap tumpah ruah, menggigil menahan gelisah membungkam sumpah serapah, mengepal
jemari yang sudah melesat menjambak manusia berwajah pongah.
Sakit, ternyata teramat sakit mencoba
memadamkan amarah yang tersulut sudah.
0 komentar:
Posting Komentar