Keterasingan yang Patut Disyukuri

*Keraton Yogyakarta*


Lama tidak menyentuh blog ini, akhirnya aku menulis lagi, semoga akan terus lagi dan lagi. Kali ini aku akan menceritakan tentang kehijrahanku ke Kota Sheila On 7 dan Kota Anak Kos Dodol favoritku.

Yogyakarta, akhirnya aku memilih kota ini sebagai tempat singgahku yang selanjutnya. Aku yakin bukan tanpa alasan mengapa Tuhan menggelindingkan takdirku untuk berada di kota ini tanpa sesiapapun yang mendampingi selain malaikat kiri kananku.

Beberapa waktu lalu setelah wisuda sarjana pendidikanku aku diberi waktu luang yang panjang oleh Tuhanku untuk merenungkan kemana aku akan membawa diriku selanjutnya, yang aku sangat yakin dan dengan jelas diyakini isi kepalaku saat itu hanyalah “bukan Matematika lagi”. Sampai kemudian aku memutuskan untuk mencoba masuk ke ranah yang sama sekali tak terbayangkan olehku sebelumnya, bukan matematika, bukan pendidikan, juga bukan sastra, tapi Ekonomi dan Keuangan Islam dan bukan di Kalimantan Selatan, melainkan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Lama aku bertanya-tanya apakah benar ini akan menjadi keputusan finalku, tidak ada orang yang benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiranku saat itu, aku hanya memohon-mohon kepada Tuhan agar dimantapkan hati dan diberi kebijaksanaan dalam memberikan jawaban karena aku yakin akan muncul banyak bibir-bibir usil yang mempertanyakan keputusanku. “Kenapa bukan matematika? Nanti tidak linier nggak bisa jadi PNS loh” dan bla bla bla masih banyak yang lainya. Kalau boleh jujur, I DON’T CARE ABOUT THAT!! Hello… Yang mau jadi PNS siapa?? Hidup tidak mesti harus jadi PNS kan? Aku bahkan yakin seyakin-yakinnya rezeki tidak bergantung pada jurusan apa aku kuliah dan tidak bergantung pada PNS atau TIDAK PNS. Yang paling penting, sekalipun aku menjelaskan apa alasanku, tidak ada yang benar-benar ingin tahu dan benar-benar mengerti, mereka di luar sana hanya ingin kepo dan mencari pembenaran atas anggapan bahwa setiap orang sama dengan dengan pikiran mereka sendiri.

Pergi ke kota ini ada banyak yang kutinggalkan; rumah yang nyaman, fasilitas yang memadai, keluarga yang hangat, teman-teman dekat, makanan-makanan khas, koleksi buku-buku kesayanganku, pekerjaan dan juga tentunya kekasih.

Sekalipun sering jauh dari rumah karena berpindah-pindah kota sejak SMA, memulai hidup di kota ini ternyata aku tetap culture shock juga. Cuaca yang lebih dingin membuat kulit wajah, kaki, tangan dan bibir sering terkelupas juga mudah sekali flu dan batuk.

Bumbu masakan jawa yang agak manis membuat aku kesulitan menemukan tempat makan yang cocok untuk lidahku yang terbiasa dengan bumbu masakan Banjar yang lebih asin, pedas, asam dan segar. Nasi kuning jawa yang tanpa masak habang, sop yang tanpa jeruk, jarang menemukan kecap di tempat-tempat makan, aku kangen masakan Banjar sangaaat! Aku kangen Patin Bakar, Garih Betanak, Ketupat Kandangan pakai telor asin, Nasi Kuning yang pakai lauk Masak Habang apalagi Nasi Kuning Astambul, Nasi Pecel Bu Eko Pelaihari, yang paling ngangenin adalah Indomie Soto Banjar dan Indomie Soto Banjar Limau Kuit, mie favoritnya orang Banjar! Sudah keliling ke mini market dan swalayan di beberapa daerah Jogja nggak ketemu. Sampai awal bulan lalu aku dikirimi paket mie favoritku itu dan Wadai Cincin oleh Gusti dan Kak Nisa, rasanyaa ampuun seneeng banget kayak nemu emas dipinggir jalan. *lebay. Tapi makan di Jogja nggak susah kok, semua orang pasti tau kalau Jogja adalah kota super ramah dan tempat kuliner yang murah-murah. Disini sekali makan aku biasa menghabiskan 8 – 15ribuan sekali makan itupun udah kenyaang banget, kalau mau lebih hemat beli di angkringan aja malah paling cuma 2ribuan suka pilih, nasinya masak sendiri di rumah. Kalau yang standar 8ribuan tambah minum paling 10ribu. Nasi padang aja sama minumnya cuma Rp. 10.500,- perak, kebiasaan makan di Banjarmasin Nasi Padang bisa nyampe 20ribu sekali makan, Chinese Food disini 7-10ribuan aja satu porsi jumbo, di Banjarmasin porsi mini aja udah 15ribu ke atas, alamaak pantesan dulu selama di Banjarmasin aku nggak pernah bisa nabung banyak, kere melulu. Hikmahnya pipi jadi menggembul karena makan 3 kali sehari dan jarang banget makan mie instan kecuali mie Soto Banjar hihihi

Disini kemana-mana nyeker jalan kaki, biaya pengiriman motor dari Banjarmasin ke Jogja sekitar 1,3 jutaan ke atas, lagian nggak ada motor yang bisa dikirim ke Jogja juga sih, soalnya memang sejak zaman sekolah sampai lulus S1 nggak punya motor, di Banjarmasin baru naik motor sejak semester 7 itupun motor punya sepupu, hehe. Disini kalau mau kemana-kemana ya jalan kaki bahkan nyampe 1-2 km udah biasa, kalau mau main jauh ya pake bus Trans Jogja dengan biaya Rp. 3.600,- sekali naik sepuasnya mau transit berapa kalipun selama nggak turun dari shelter ya segitu. Walau awalnya sempet mengalami kejadian yang nggak enak, dipepet om-om ganjen dan mbah-mbah stress di dalam bus, tapi nggak membuat aku kapok, malah semakin waspada dan semakin terbiasa gelantungan di dalam bus kalau bus lagi penuh. Di Jogja anak-anak sekolah dibiasakan naik angkutan umum sendiri oleh orang tuanya, aku salut banget karena sering bareng anak sekolah yang naik bus Trans Jogja, padahal kadang mereka jadi kemalaman pulang, sering nggak tega liat muka kucelnya anak sekolah bahkan sampe ketiduran di bus, karena jam kedatangan Trans Jogja ke shelter nggak bisa ditebak dan rute Trans Jogja itu keliling melewati shelter-shelter yang sudah ditentukan, nggak bisa turun sembarangan. Kalau aku biasa naik trayek 3B kalau mau ke Banjara Adi Sucipto, pakai 3A kalau mau ke Malioboro, pakai 3B transit 1A di terminal bandara kalau mau ke Ambarukmo Plaza, pakai 3A transit 2B kalau mau main ke Gejayan tempat Ocha.

Jauh dari keluarga, teman-teman dan kekasih, hmmm… Mau gimana lagi? Ini cuma sebentar kok, paling lama insyaAllah 2 tahun, kangen sudah pasti, apa daya rinduku terhalang harga tiket pesawat. Tapi toh kita masih bisa saling terhubung lewat doa tentunya dan media sosial, telepon, sms, video call, sudah kodratnya media sosial kan mendekatkan yang jauh. Tapi nggak enaknya ya selalu terlewatkan momen-momen penting di keluarga, selama 8 tahun berpetualang jauh dari keluarga aku kehilangan satu per satu orang-orang tercinta tanpa sempat mengantar kepergiannya, Kai, Mbah Yut, Mama Agus (Nenek) dan yang terakhir baru seminggu lalu, Mbah Lanang, menghadapi saat-saat seperti itu diri rasanya seperti pecundang.

LDR dengan kekasih? Apalagi kita pasangan muda, baru 10 bulan lagi manis-manisnya, LDR seperti sekarang kalau boleh jujur ya nggak enak, bawaannya pengen ngitungin hari melulu. Beruntungnya kita pasangan keren, nggak ngeluh, selalu have fun, nggak pake posesif-posesifan, selalu punya hal baru yang dilakukan jadi nggak bête dan nggak bosan karena jauh. Kalau jamnya kerja ya kerja, jamnya kuliah ya kuliah, jamnya main sama teman-teman ya biarin aja, jam dengan keluarga ya monggo, telponan dan whatsappan juga ada jamnya, nggak melulu harus jari nempel di hape kok, kita tau porsi masing-masing jadi ya jauh dekat asyik-asyik aja. Hobi terbaru kita adalah barter surat, kartu pos dan perangko lewat paket mie Limau Kuit yang dibarter dengan buku murah hasil belanja di shopping center Taman Pintar. Nggak perlu banyak drama, kita selalu punya cara untuk asyik-asyik aja. Walau mereka bilang kita cuma pasangan muda yang kasmaran dan nggak tau apa-apa.

Memang sih jauh dari teman-teman lama  juga, tapi teman-teman baru nggak kalah asyiknya, Ocha dan Novi misalnya, dua bersaudara itu adalah sahabatku yang nolongin aku sejak awal datang ke Jogja buat tes, kami sama-sama pendatang dari Banjarmasin tapi mereka lebih dulu tinggal di Jogja, selama di Jogja seminggu sekali kami jalan bareng entah Cuma makan atau menjelajah tempat baru. Teman-teman Kos Pondok Putri Tiara 1 juga seru-seru walau masih kinyis-kinyis khas anak S1, walau ada yang menyebalkan juga, wajar sih berisik, kos ini ada 35 kamar yang diisi oleh gadis-gadis dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Teman-teman sekelas Magister Ekonomi & Keuangan angkatan 11 juga seru-seru, udah kayak sodara aja, soalnya di kelas cuma dikit. Ada Novi yang kontrakannya sering aku inepin, kembaranku si Ayu ratu Selfie dari Makassar, Marta bos travel dan hijab yang suka antar jemput aku, Mbak Anne yang sudah punya anak 2 tapi masih cakeps singset rapet, ada Kiky dan Putri yang seru banget, Mbak Nurul yang pinter bahasa Inggris, Mas Fadly yang sering pinjemin buku, dan lain-lain. Oya, aku juga akhirnya bertemu teman-teman Sheilagank Jogja yang bertahun-tahun cuma kenal lewat facebook akhirnya kita setanah pijakan saat konser Sheila On 7 di JCM, benar-benar menakjubkan.

Walau sebelumnya juga harus meninggalkan pekerjaan impian di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporbudpar) Kalsel yang hampir sampai berlabuh dalam genggaman, meninggalkan karir mengajar sebagai guru privat matematika favorit, melihat satu persatu teman sejawat melangkah ke pelaminan sementara aku masih berada di angan-angan dan banyak hal lain yang harus diikhlaskan, aku hanya berharap akan digantikan dengan yang lebih baik lagi.

Aku merasa beruntung tidak salah pilih berada di kota ini, kampus UII, kos Pondok Tiara 1, rasanya Allah memberiku semuanya serba tepat, kota yang ramah dan serba murah, kampus yang pelayannya super duper santun, modern, up to date dan bersahabat, kos yang murah fasilitas lengkap serta bapak ibu kos yang baik, aku jadi lebih banyak belajar bijaksana tentang hidup lagi. Memang terkadang merasa terasing atau selalu diasingkan selama 8 tahun ini harus jauh dari rumah. Tapi dibandingkan dengan apa saja yang telah kulepaskan, aku rasa aku menerima ganti yang setimpal bahkan jauh lebih baik dari hal-hal yang kuikhlaskan, sebuah pengalaman hidup tentang banyak hal yang tidak dapat diuangkan. 

Terkadang memang aku iri pada kehidupan orang lain yang lebih dulu maju, memiliki pekerjaan tetap, menikah, punya anak, tapi kenyataan tidak selalu tampak seperti yang terlihat bukan? Bisa jadi orang lain pun iri pada apa yang kumiliki, mungkin ada juga orang lain yang setengah mati ingin mewujudkan hal yang dengan mudah aku nikmati saat ini. Mungkin inilah keterasingan yang harus disyukuri, karena sifat manusia memang tidak pernah puas, tapi rasa syukur akan selalu melawan segala keserakahan dan keluhan.

Semangat Luthfia, selamat berjuang, selamat mengisi kehidupan baru dengan rasa syukur dan hal-hal yang bermanfaat! Ingat pembalasan dendam, kali ini harus cumlaude. Cumlaude dalam menaklukkan pendidikan, juga cumlaude dalam menaklukkan kehidupan.



Condong Catur, 15 September 2015
00.02 WIB






1 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar