Sebuah Pengakuan

Sudah lama aku ingin melakukan ini, tapi aku tidak menemukan cara yang tepat untuk mengungkapkannya. Pandai sekali diri mencari alasan untuk berkelit. Sibuk adalah alasan yang paling banyak digunakan untuk membentengi diri, gengsi adalah kenyataannya. Karena selama ini kita tidak pernah terbiasa saling mengungkapkan perasaan. Terlalu canggung rasanya jika diungkapkan secara langsung, sekalipun ribuan kata terangkai semuanya pasti akan buyar begitu saja. Kemajuan teknologi dan komunikasi tercanggih sekalipun tidak bisa membuat kita saling tahu ingin masing masing-masing. Kukira interval jarak beratus kilometer dapat mengubah keadaan ini, namun justru malah membuatnya terlihat sama saja. Jangankan bertemu, berkirm pesan dan surat pun sifatnya insidentil, tak pernah saling menanyakan kabar masing-masing. Entah karena sudah terlalu saling percaya atau terlalu terbiasa pada keterasingan.

Kali ini izinkan aku benar-benar melakukannya, aku tak yakin kau akan suka, tapi inilah satu-satunya cara yang aku bisa di dunia ini selain lewat doa.  Kau tahu bagian tersulit dari setiap tulisanku adalah tentangmu. Aku mampu menuliskan cerita lain belasan lembar dalam sekali duduk sepaket dengan editingnya, tapi tentangmu berhari-hari, berjam-jam aku duduk beradu dengan tuts abjad dan backspace yang pada akhirnya menjadikan layar di hadapanku masih tetap kosong. Aku tahu aku tidak akan pernah berhasil menemukan kata yang tepat untuk mewakili perasaanku kepadamu.

Aku tidak tahu dari mana aku harus merunut segala kisah tentang kita, tapi sepanjang aku mampu mengingatnya aku yakin ribuan lembar kertas dan selautan tinta pun tak akan cukup untuk menuliskannya.

Benar kan? Aku mulai bertele-tele lagi. Hal-hal seperti ini tidak akan cukup disampaikan hanya lewat pesan singkat, sementara tidak satupun sosial media kita yang menghubungkan kita, mungkin karena faktor beda generasi. Sepertinya aku akan menulis surat saja kepadamu, aku agak suka hal yang berbau surat menyurat. Surat yang mungkin tidak akan pernah kukirimkan dalam keadaan sadarku.

Assalamuaikum pria tercinta nomor satu di dunia…

Apa kabar? Pasti kau sedang sibuk seperti biasa. Aku lupa kapan terakhir kali kita saling berbicara dari hati ke hati, seterbuka, sehangat dan seakrab ini, baik aku akan mencobanya. Mungkin benar kata seorang teman, waktu adalah jarak yang terjauh. Maka lengkaplah milik kita, selain waktu juga jarak yang tak terhitung langkah, jarak yang semakin berjarak. Perkembangan teknologi bahkan tak mampu mengubah apa-apa, segala komunikasi semakin mudah dengan adanya telepon, sms dan sosial media lainnya, tapi kita tak pernah memanfaatkannnya.

Aku sedang mencuri waktu di tengah kemelut ujian akhir semester ketika menuliskan ini, tapi rasanya menuliskan ini jauh lebih sulit dari pada menyelesaikan soal Statistika Matematika mata kuliah yang paling kubenci. Kurasa ada benarnya Tuhan menggagalkanku ketika berusaha masuk ke Sekolah tinggi Ilmu Statistik 3,5 tahun lalu.

Kau tentu tahu, aku suka sekali menulis, lebih suka ketimbang menyelesaikan permasalahan linear ataupun commulative distribution function. Itu sebabnya aku lebih suka mengirimkan profil dan tulisan-tulisanku yang masuk di media lokal ketimbang mengirimkan kartu hasil ujian semester ke rumah.

Tapi apa kau tahu siapa yang membuatku begitu tergila-gila pada dunia tulis menulis? Ini rahasianya, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar dulu aku pernah menemukan sebuah buku harian lusuh saat membersihkan atas lemari kamar, isinya fotomu dengan teman-temanmu, puisi setra sajak-sajakmu, rasanya seperti menemukan harta karun, aku suka sekali dengan isinya.

Suatu hari saat di bangku madrasah tsanawiyah aku menyukai seorang teman sekelasku, saat itu aku belum bisa menulis sendiri puisi, ada sebuah puisi berjudul Arta dalam buku harianmu yang sesuai dengan suasana hatiku saat itu, aku mencurinya dengan mengganti namanya dengan pria yang kusuka dan kau mengetahuinya dari laci meja belajarku, sejak itu buku harian itu telah berpindah kembali ke tangan pemimiknya dan aku sangat-sangat merasa kehilangan. Konyol sekali rasanya kala itu, sejak saat itulah aku bertekad untuk membuat tulisan sendiri sebaik-baiknya.

Selain suka menulis aku juga sangat suka membaca, membaca apa saja yang bisa dibaca, kau senang sekali membelikanku majalah Bobo, komik Petruk-Gareng, hingga majalah Muslimah, Aneka Yess, majalah Gaul, sekarang aku telah menjadi kutu buku, aku menjadi banyak tahu walau terkadang juga sok tahu, setiap ada pertanyaan yang tentang sesuatu hal teman-temanku bertanya kepadaku. Aku mengoleksi berbagai macam jenis buku, dari dongeng, novel sampai buku-buku parenting, bahkan aku memiliki perpustakaan pribadi, jika bukan karena kau mungkin aku tidak akan seperti ini.

Kata teman-temanku tulisanku bagus dan rapi karena tegak bersambung. Dengan bangganya aku mengatakan bahwa aku menulis seperti itu sejak duduk di bangku kelas 5 SD, dulu kau yang membuatku terpaksa harus melakukannya, menulis sepuluh bait peribahasa di buku latihan menulis tegak bersambung, yang bila tidak kukerjakan aku harus menuliskannya dua kali lipat di hari berikutnya, namun sekarang aku justru menikmati hasilnya.

Aku ingat bagaimana dulu kau membuang baju yang kurendam berhari-hari karena kau mengajarkan aku untuk mencuci sendiri agar tidak merepotkan ibu. Sekarang aku bersyukur karena saat hidup sendiri begini aku tak perlu mengandalkan laundry untuk mencuci.

Aku sering menginginkan kebebasan, saat aku mendapatkannya sekarang aku malah sering rindu rasanya kau marahi atau saat baju-bajuku kau letakkan di teras karena pulang kemalaman. Aku juga rindu rasanya menangis di papan tulis saat malas belajar matematika.

Orangtua manapun kenyataannya selalu gagal move on. Mengapa demikan? Jelas, saat usia anaknya bertambah orang tua masih menganggap kita bayi manisnya. Perasaan terkekang membuatku jadi anak yang agak pemberontak, usia-usia labil memang masanya anak merasa menang sendiri. Masa-masa remajaku banyak kita habiskan untuk saling merasa paling benar, kita berdua adalah orang yang paling banyak menyakitkan hati ibu karena pertengkaran kita.

Saat ini aku memahami apapun maksud dibalik semua yang kau lakukan dulu, andai aku boleh meluruskan, ada baiknya kau mulai belajar mempercayai anak-anak kita, beri mereka sedikit waktu untuk tumbuh dan menemukan kesadarannya, kau tau, anak yang terkekang melakukan kenakalan lebih fatal ketimbang anak yang dibebaskan namun tetap dalam pengawasan.

Aku selalu berpikir untuk apa seorang anak hidup jika tetap orang tua sepenuhnya menentukan arah hidupnya, anak hidup dengan sepasang sayap kewajiban dan haknya. Kita tidak boleh mengambil alih haknya dengan memaksakan kehendak kita sebagai orang tua, biarkan anak menentukan sendiri kita hanya mengarahkan. Segala ketakutan dan kekhawatiran akan amsa depan ada baiknya kita serahkan kepada Tuhan, khawatir akan masa depan adalah salah satu cara melemahkan Tuhan bukan?
Oya, aku sangat bersyukur ketika kau mengirimku ke salah satu Islamic Boarding School di kota Banjarbaru dulu waktu SMA, disana aku banyak belajar, belajar arti keluarga, agama, kepribadian, kekuatan, kemandirian, kepercayaan dan lain sebagainya, sejak saat itu pertengkaran kita mereda dan aku sangat menyukainya.

Terkadang aku benci saat kau marah-marah, bagiku kau terlalu keras untuk dilawan. Akhirnya di saat-saat paling menekan dalam hidupku saat ini aku melihat diriku memang merupakan cetak tebal dari segala tabiatmu, sekalipun kehilangan keyakinan tetap berusaha tampak tenang, kuat, keras kepala dan agak dingin. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan aku merasa sangat bersyukur karena kau mewariskan tabiat pekerja keras kepadaku.

Ini bagian yang paling menarik, kita tidak pernah bicara soal pria kan? Kadang aku merasa aneh harus membicarkan ini denganmu, tapi karena mau tidak mau suatu hari kita tetap akan membicarakan ini karena akan ada saatnya aku akan menikah. Aku tidak punya pacar sejak lama, tahunan, tapi sekarang ada seseorang yang sangat baik hadir di hidupku, apakah kau akan menyukainya nanti? Aku tidak tahu, tapi jangan khawatir kami LDR, aku tidak akan macam-macam, enam tahun lebih jauh dari rumah mengajarkanku banyak hal, aku sudah berjanji tidak akan menyentuh dunia pergaulan bebas, minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang. Tapi aku punya banyak teman baik-baik, mereka tidak akan membiarkanku bertindak yang aneh-aneh.

Kau pria paling romantis dan penuh kejutan yang aku kenal. Pada saat ulang tahun ke 17 kau mengirimkan dua kue tart dan sebuah surat ucapan selamat ulang tahun ke asrama sekolahku, aku masih menyimpan surat itu, surat itu berhasil membuatku bercucuran air mata. (Baca di : Surat Cinta di Sweet Seventeen)

Pada ulang tahun ke 18 kau menghadiahiku sebuah handphone slide warna pink metalik yang sangat cantik walau sebulan kemudian hilang karena kecopetan. Kemudian saat ulang tahun ke 20 karena aku baru saja patah hati kau menghadiahkanku tiket perjalanan ke Bandung-Jakarta dan ulang tahun ke 21 kau memberikanku sebuah Blackberry, semuanya tanpa aku minta. Kemudian aku berpikir, aku tidak pernah menghadiahimu apapun sekalipun kau tidak memintanya, bahkan mengucapkannya pun sangat jarang. Akhirnya aku berhasil menuliskan sebuah buku kumpulan puisi untuk hadiah ulang tahunmu, aku juga menuliskan nama-nama indah yang kau berikan kepadaku  dan adik-adik di sebuah buku parenting yang sekarang bisa kau lihat di Gramedia, 1 buah buku menunggu penerbitan dan sekarang 2 buah buku menunggu untuk diselesaikan. Hanya itu yang bisa kulakukan paling tidak untuk menandakan bahwa kau ayah yang sangaat hebat.  

Sebentar lagi ulang tahunku yang ke 22, aku sangat menunggu apa yang akan kau katakan kepadaku. Banyak doa untukmu. Berbahagialah… Sehatlah selalu… dan percayalah padaku.

Selamat hari Ayah Pria tercinta nomor satu di dunia…

Melihatmu, mendengarmu, kaulah yang terhebat…


Alalak Utara, 3 Januari 2014
--- Diselesaikan di Simpang Gusti, 12 November 2014
1.58 PM






1 komentar:

Unknown mengatakan...

ternyata kemampuan menulismu memang turunan dari papahmu :(

Posting Komentar