Sajak Biru

Selamat Pagi Biru...

Sajak ini ditulis dari ruang tunggu yang beku
Terkungkung dalam rongga hampa yang kelu

Selamat Pagi Biru...
Kau telah mengacau merah, hijau dan unguku
Bisakah kau segera berlalu?
Sebelum lelah menjadikan siang dan malamku kelabu

Tapi si Biru terus terpaku, semakin kaku
Aku melemah menyaksikannya semakin bisu

Si Biru adalah akuku
Entah dia akan menjadikanku apa dan siapa aku?

Akan Menunggu (Lagi)



Tiga minggu terakhir semesta tampak menciptakan jarak antara aku dan dia, aku larut dalam maklum yang terlalu maklum sampai begitu aku menyadari kami sudah sebegini parah. Dia sudah begitu jauh dan tak lagi tergenggam.
Sudah kuduga ini akan terjadi, kali terakhir bertemu perasaan begitu tak karuan tanpa alasan, tapi kuabaikan. Aku terlalu sibuk jatuh cinta sehingga terlalu istimewa menerjemahkan begitu banyak pertanda yang sebenarnya biasa. Ya, saat jatuh cinta perhatian sekecil apapun akan terasa begitu istimewa.
Aku ingat malam itu, “Aku tidak pernah berniat menggagalkan kita”, itu katamu. Aku masih ingat tatapan matamu malam itu, genggaman tanganmu, aku berusaha percaya walau aku meragu. Hangat namun kelu.
Aku tak pernah jemu menyayangmu, sekalipun aku tak pernah bisa menguraikan satu per satu alasanku.
“Bagaimana aku bagimu? Setidaknya dari penampakan luar atau baik burukku? Menurutku aku bukan orang yang baik”
“Aku tidak bisa menjelaskan itu. Makanya pinjamkan aku buku-bukumu yang banyak itu, aku perlu banyak referensi untuk mengungkapkannya”
“Ayolah, apa? Aku jarang mau tanya beginian ke orang lain”
“Terus kenapa kamu tanyakan hal ini ke aku?”
“Karena kamu penting buatku”
Dia mengeratkan genggamannya pada jemariku. Aku terharu, sebab tidak pernah tau bahwa seistimewa itu arti aku baginya.

***

Saat pulang, seperti biasa dia mengantarku sampai depan gang. Lama dia tidak melepaskan genggaman tanganku setelah ku mencium punggung tangannya. Tak seperti biasa juga, dia memandangku begitu lama, aku masih ingat, sangat ingat.
Nafasku beradu dengan gelisah.
"Ada apa?" tanyaku.
“Tidak apa, kalau-kalau nanti ga bisa ketemu lagi” seraya tersenyum, seperti biasa, penuh tanya.
Aku hanya menatapnya, selalu penuh harap akan ada pertemuan berikutnya.
Saat-saat seperti ini yang selalu aku benci, setiap harus melihatnya berpaling dan menyaksikan punggungnya perlahan menjauh meninggalkanku pulang. Setiap seperti ini dalam hatiku nyaris selalu penuh tanya, “Entah kapan lagi akan mendapatkan kesempatan seperti ini?”  
Waktu bersamanya terlalu berharga buatku, karena aku selalu ingat berapa lama aku menunggu kesempatan ini dan sepenuhnya aku menyadari, aku tidak benar-benar pantas untuk kesempatan ini.

***

Berhari-hari hatiku berusaha memberontak logika, aku berusaha tetap waras diantara keadaan yang gila. Menyibukkan diri agar tetap bisa tetap tertawa, seolah baik-baik saja walaupun sebenarnya kecewa.
“Masalahku ya masalahku. Lebih baik diselesaikan sendiri daripada diumbar cuma dapat perhatian bukan pertolongan”
Itu katamu malam itu. Setelah sekian hari tanpa kabar dan kemudian begitu saja? Tidak tahu kah bagaimana khawatirnya aku?
Aku marah, sangat marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menjadi orang yang dapat menjanjikan solusi bagi setiap masalahmu. Kukira kau butuh aku yang sederhana, yang hanya bisa mendengar keluhmu, yang cuma bisa mengusap punggungmu atau menyimpulkan senyum di wajahku ketika kau mengeluh. Bodohnya aku, ternyata kamu butuh seseorang yang lebih dari itu.
Kukira aku dapat menjadi seseorang yang kau percaya untuk membagi duka deritamu, ternyata aku belum seberarti itu, aku begitu kecil sampai kau tak dapat melihat seberapa tulusnya aku menghambakan diri pada kemenerimaanku atasmu.
Sebelumnya lama kubiarkan diriku larut pada kegelapan yang gelap, membiarkan diri sesakit-sakitnya tercabik-cabik kesendirian tanpa mau percaya lagi pada rasa cinta. Sampai suatu ketika aku bertemu denganmu yang begitu sepi, aku datang kepadamu, menjadi tamu bagi rumahmu berharap dapat meramaikan, kau menerimaku dengan baik, memperlakukan selayaknya tamu yang datang dengan niat baik-baik. Namun aku lancang, aku berharap bisa jadi pemiliknya, lebih dari sekedar tamu yang bisa datang dan pergi sesukanya. Aku ingin menjaganya, rumah itu aku ingin jadi yang menjaganya. Tapi ternyata tidak, tanganku begitu kaku dan kakiku begitu berdebu, khawatir aku akan menggores atau mengotori rumah yang kau benahi sekian lama, sehingga kau belum lagi mengizinkan aku melangkah lebih jauh. Langkahku terhenti dan aku berusaha mengerti, kau perlu penjaga terbaik untuk kau tempatkan sebagai pemiliknya. 
Meskipun pernah kukatakan aku menyerah, sebenarnya aku tidak pernah benar-benar menyerah, hanya terkadang aku  merasa sedikit lelah. Aku masih akan menunggu meski akan sangat lama lagi bagimu untuk membukakan pintu sepenuhnya, tidak apa, aku akan lebih banyak berusaha memantaskan diri. Aku yakin suatu hari akan ada hari ketika kau menyambutku dan mempersilakanku masuk sebagai tamu terbaik juga sebagai pemilik satu-satunya disana, rumah itu, hatimu…