RATAPAN ANAK ASRAMA

Kamar Kost uk. 9 ½ ubin x 9 ½ ubin,
Tuesday, 9 Februari 2010

“Waktu-waktu seperti ini
Pintu telah terkunci, lampu telah mati
Kuingin pulang untuk segera berjumpa denganmu
Sesaat mata terpejam, tirai imaji terbuka
Semakin kuterlelap semakin jelas hangat senyuman
Tak ingin terjaga sampai aku pulang…”

Mendengar sebait lirik lagu dari band favoritku Sheila On 7 itu berdendang pelan dalam pemutar musik laptopku bagaikan memutar kembali sebuah video usang 3 tahun lalu.
Saat pertama masuk asrama putri yang berada tepat di samping sekolahku, Islamic Boarding School Qardhan Hasana Banjarbaru namanya. Mendadak merdeka dari orangtua dan bertemu dengan dunia baru, orang-orang baru, lingkungan baru dan pola hidup yang baru memang membuat kebanyakan anak asrama baru mengalami istilah culture shock dan sering rindu ingin pulang, termasuk juga aku, wajar sebab selama ini belum pernah berpisah dari orang tua. Namun bagi sebagian anak asrama seperti Ieva, Pidhu, Mel, Kiky dan Suci yang  sejak SMP mengecap manis, asam, asinnya dunia pesantren, mondok merupakan hal biasa.
Kalau dibandingkan dengan pesantren sekolahku hampir mirip seperti pesantren. Setiap hari jangan ditanya apa saja kegiatannya, sangat monoton. Setiap hari hanya ada  asrama – mesjid – sekolah – asrama lagi.
Rasanya baru kemaren aku bebas bertetangga ke kiri, kanan, depan dan belakang rumahku, tiba-tiba sekarang aku telah terjebak dalam dunia yang antah berantah, terkungkung di lantai dua sebuah bangunan besar nan kokoh , tinggal satu atap bersama dua puluh gadis-gadis berbeda suku dan karakter.
Banyak senangnya juga tinggal di asrama dengan banyak pasukan seperti ini. Selalu ramai, dijamin tidak pernah kesepian 24 jam. Banyak hal-hal baru yang bisa dilakukan bersama, yang tidak pernah ku temui di kehidupan sebelumnya.
  Di asrama, kami harus berbagi segala hal. Dari kamar tidur, ruang tamu,  kamar mandi, sampai tempat jemuran. Di asrama ada 6 buah kamar mandi yang setiap harinya dipakai bergantian oleh dua puluh orang gadis-gadis, bagi yang sadar akan keadaan ini tentu lebih memilih mandi duluan subuh-subuh di saat sebagian penghuni asrama masih terlelap, dari pada berebutan, seperti adegan di bawah ini :
 “Limaa…”
Tak ada sahutan.
“Limaa…”, tok… tok… tok…
Sepi tak ada sahutan, padahal pintu kamar mandi tertutup rapat, tidak terdengar tanda-tanda adanya aktifitas disana . Kali ini lebih keras lagi
“Limaaaaaaaaaaaaaaaa….”
Dari dalam kamar tidur terdengar sahutan, ajaib, yang memanggil ada di depan kamar mandi, sedangkan sahutannya terdengar dari dalam kamar.
“Apaaaaaaaaa Fiiiiii???”
“Dimana ikam Mel?”
(Dimana kamu Mel?)
“Disini di kamaaar”
“Aku kira ikam sudah mandi, aku mahadangi mulai tadi”
(Aku kira kamu sudah mandi, aku sudah menunggu dari tadi)

Keren kan asramaku? Yang lain menunggu giliran mandi, yang ditunggu malah masih asik membentuk pulau Kalimantan di tempat tidurnya, sedangkan kamar mandi diisi dengan handuk lengkap dengan peralatan mandinya beserta pintu kamar mandi yang ditutup rapat, serasa ingin menimpuk dengan keranjang peralatan mandi, Emosiii... Namun justru momen-momen itulah yang selalu terkenang sampai sekarang.
Disela-sela waktu kami yang setiap harinya tidak tersisa banyak itu, kami selalu menyempatkan berkumpul di depan sebuah televisi butut nan kecil tanpa remote di ruang tamu yang apabila akan memindah salurannya harus menggunakan remote manual alias jempol kaki. Yang duduk paling dekat dengan televisi akan bertanggung jawab dengan dengan penuh kesadaran sebagai operator, yang hebatnya lagi televisi butut kami itu sudah berkali-kali jatuh dari tempatnya akibat ulah anak-anak asrama yang petakilan, berharap mendapat gantinya yang baru, namun sayangnya harapan kami sia-sia tidak sekalipun televisi butut asrama kami itu rusak.
Semua kami lakukan bersama, sehingga menimbulkan keramaian berlebih di asrama puteri ini, belajar bersama, mengerjakan tugas bersama, mandi bersama, karaoke di kamar bersama, mengobrol ngalor ngidul dari berdiskusi sinetron sampai berdiskusi tentang menu makanan asrama yang selalu ayam, bergosip ria, hihihi… Kami juga sering malam mingguan bersama, ritual wajib malam mingguan kami adalah nonton bareng. Jelang malam minggu anak asrama puteri ini selalu hom-pim-pah bergantian buat beli DVD bajakan drama korea yang super romantis dan menguras air mata. Pernah suatu malam, waktu itu aku dan anak-anak asrama lainnya menonton drama korea enam belas episode, sejak sore sabtu sampai dengan episode terakhir pada tengah malam, saat adegan klimaks ketika sang wanita mengetahui bahwa kekasihnya adalah robot dan dia harus dimusnahkan segera, kami para gadis-gadis labil ini menangis sepuas-puasnya dan hasilnya kami gedor-gedor dari lantai bawah oleh paman asrama karena mengetahui bahwa kami belum tidur lewat tengah malam, dasar bandel.
Karena kami sama-sama jauh dari orang tua dan tidak memiliki siapa-siapa di tanah perantauan ini, Sehingga tumbuhlah rasa senasib sepenanggungan, susah, sedih, senang kami lewati bersama. Tolong menolong sudah pasti sangat sering terjadi, terutama soal uang kiriman yang terlambat datang, otomatis orang pertama yang dimintai pertolongan adalah anak-anak asrama sendiri. Pernah saat teman kami Rini terserang DBD dan harus segera dilarikan ke RS terdekat, dengan suka rela kami menungguinya bergantian sampai orang tuanya dating dari Sungai Danau. Saat ada yang sedih dan patah hati akan ada begitu banyak bahu dan pelukan yang ditawarkan untuk menyandarkan hati yang sakit, akan ada begitu banyak tangan yang akan mengusap setiap air mata yang keluar, begitu banyak semangat yang dibagikan ketika mulai jenuh dan mengeluh, soulmate sehidup semati deh.
Walaupun anak-anak asrama rata-rata bandel dan sedikit susah diatur, tapi hampir 85% anak asrama berprestasi di sekolah lho, juara kelas setiap tahunnya pasti diborong oleh anak-anak asrama baik putra maupun puteri, tak heran jika sang Kepala Yayasan sangat menyayangi kami. Mungkin karena kami kelebihan protein dari menu masakan di asrama yang 3x seharinya disuguhi dengan berbagai macam menu ayam, hehehe…
Di asrama ini aku belajar hidup bersosial dan bermasyarakat dalam skala kecil. Belajar menempatkan diri dengan baik, belajar bagaimana bersikap terhadap orang yang lebih tua, terhadap teman sebaya dan juga terhadap orang yang lebih muda. Belajar menghargai bibi-bibi petugas memasak dan mencuci di asrama. Belajar mandiri dan menyelesaikan masalah dengan dewasa serta cerdas tanpa harus menjadi sok tua.  Dengan adanya daftar hadir tadarus dan shalat berjamaah aku belajar berdisiplin dalam hidup. Aku juga belajar berkompetisi dengan sehat. Belajar menjaga kepercayaan dan menjadi kebanggan saat jauh dari orang tua. Di asrama Qardhan Hasana aku menjadi kaya akan pelajaran dan pengalaman lahir dan batin yang berharga. Hmmm… Aku merindukan masa-masa itu lagi.

*Ditulis saat mendapat tugas B. Indonesia dari Mr. Sampai Mati (Bp. Sabhan) untuk menuliskan pengalaman yang paling mengesankan.



2 komentar:

Rizqueen mengatakan...

ayam tepung + mie sedap goreng ala acil: kangen...
xixixiii
:D

Luthfia Ayu Karina Rani mengatakan...

hahaha... kangen grasa grusu di dapur wktu sahur sm rizh..., :')

Posting Komentar